Salah satu fungsi menulis adalah terapi supaya pikiran kita jadi plong. Saya mau menulis refleksi tentang apa yang saya amati belakangan di sini.
Jatuhnya Produk Lokal
Saat ini banyak produk lokal dalam negeri yang jatuh, banyak pedagang yang mengimpor produk serupa dari luar negri lalu menjualnya kembali ke pasar kita dengan harga murah.
Harga dari negara eksportirnya murah banget, walaupun dijual kembali dengan margin yang cukup oke, tetap aja masih lebih murah daripada produk lokal sehingga lebih diminati oleh pembeli.
Harga miring, kualitas oke, pelayanan sangat cepat dan memuaskan.
Banyak malah yang buka 24 jam, pake chatbot untuk layani calon pembeli sehingga calon pembeli tidak kabur kemana-mana dan mau order.
Nasib produk lokal gimana? Kalau harga produknya gak lebih murah, kualitasnya gak lebih baik, pelayanan seller-nya gak lebih cepat dan gak lebih memuaskan ya bakal kalah saing. Order makin sepi, lama-lama mati.
Darwin pernah bilang gini, "It is not the most intellectual of the species that survives; it is not the strongest that survives; but the species that survives is the one that is able best to adapt and adjust to the changing environment in which it finds itself."
Jadi, pedagang lokal memang perlu upgrade diri supaya bisa bersaing dan survive di pasar bebas dalam era digital saat ini. Di jaman seperti ini, mau gak mau kita memang perlu melek teknologi dan mampu menggunakannya untuk menopang usaha kita.
Tak Bisa Berjaya Selamanya
Menurut saya mah, kalau kita mau bersaing untuk menjual sesuatu yang sudah umum, gampang ditiru, bisa dibikin atau bisa didapat dimana aja persaingannya bakal super ketat dan margin tipis.
Gak bisalah berjaya selamanya, paling di masa-masa awal doang sebelum para kompetitor baru berdatangan dengan kualitas produk yang lebih baik tapi dengan harga lebih terjangkau.
Lihat aja tuh mie oven, deodoran tawas, pembersih lerak dll.
Satu bikin, yang lain ngekor semua.
Yang nyesek, perintisnya bisa kalah saing sama penyontek idenya.
Enak banget ye tinggal ATM, amati tiru modifikasi 😂.
Kagak perlu buang-buang waktu, duit dan tenaga buat riset dan jatuh bangun lagi kaya si perintis.
Memendeknya Rantai Distribusi
Di zaman yang serba digital ini, orang-orang juga pada bisa beli langsung dari tangan pertama bahkan dalam jumlah kecil.
Alih-alih membeli dari reseller yang sudah kesekian, saya juga cenderung mencari sumbernya, tangan pertama, atau yang paling mendekati tangan pertama karena sudah pasti produknya original dan harganya jauh lebih murah.
Untuk kacamata misalnya, saya pesan sendiri dari luar negeri untuk memotong rantai distribusi yang berpengaruh pada kenaikan harga. Semakin jauh suatu produk dari sumbernya atau semakin panjang mata rantai distribusinya kan produk itu akan semakin mahal, karena setiap mata rantainya itu pasti akan ambil untung dari mata rantai sebelumnya.
Harga frame dan lensa yang saya beli sangatlah murah, harga pembersih lensanya saja 20 kali lipat lebih murah daripada di optik yang biasa saya bli. Semua berkat internet dan jasa forwarder/cargo borongan.
---
Apa yang Bisa Dijual?
Kalau Indonesia mau bangkit, mending jualin aja itu produk lokal yang unik, asli Indonesia.
Tinggal belajar aja cara ngemas produk, cara jualan di pasar lokal dan internasional gimana. Kalau mau belajar ngemas produk makanan bisa belajar dari Mas
Filsa Budi Ambiya, penjelasannya ringkas banget dia tuh, mudah dipahami.
Buat sales dan marketing bisa pake
sosmed atau
affiliate, mau belajar ekspor juga banyak tutor yang penjelasannya kagak ribet dan tulus mau bantu, misalnya Ibu
Dewi,
Julio dan si
Nicho.
Tinggal dicari aja, modal internet.
Bisnis Sunrise: Produk Organik
Bisnis produk organik itu adalah salah satu bisnis yang prospeknya bagus banget, terutama untuk diekspor ke negara-negara maju. Potensi Indonesia untuk bisa ekspor berbagai produk organik dengan kualitas dan kuantitas yang tinggi sangatlah besar, karena Indonesia memiliki SDA organik yang melimpah ruah baik di daratan maupun di lautan.
Pola hidup warganya yang dekat dengan alam juga amat mendukung. Saya dukung banget program pemerintah untuk swasembada pangan modern yang melibatkan generasi milenial dan gen Z, kalau bisa sih pertaniannya organik, karena baik bagi lingkungan dan kesehatan kita. Nilai jual produknya juga jelas jauh lebih tinggi di pasar internasional. Saya maulah berpartisipasi dalam program ini kalau sistem pertaniannya organik mah.
Sebagai pelanggan setia produk organik sejak tahun 2014, saya amati masalah produk organik itu satu, yaitu di kemasan. Walaupun organik, kemasannya masih gak organik. Hal ini sangat disayangkan. Kalau aja ada kemasan untuk produk organik yang kuat namun ramah lingkungan, pasti produk organik akan menjadi pilihan yang sempurna.
Yang Pro Lingkungan akan Semakin Laris
Karena cadangan BBM semakin tipis, kedepannya, sumber energi alternatif akan semakin diminati.
Dunia saat sedang dalam masa transisi besar, dari energi yang tak terbarukan menjadi energi terbarukan untuk Bumi yang lebih bersih, lebih hijau, lebih hemat dan lebih sehat.
Kita bisa aja jual biodiesel dari tanaman jarak, biogas sapi feses Sulawesi, bioetanol singkong dan tebu, plastik singkong, sambal tempe organik, atau apa kek yang memberdayakan sumber kekayaan alam kita yang melimpah ini. Yang penting diolah dulu supaya naik nilai jualnya. Jangan jual mentah lah, rugi. Paling kagak, jual dalam bentuk jadi tanpa label.
Bisnis modal ngepak ulang, tinggal kasih kemasan/label/ merek dagang yang keren kan cuan banget, pasti calon seller kita maulah. Gak perlu bersusah payah dia cari-cari atau ngolah bahan baku lagi. Justru yang bikin harga produk melesat itu kan kemasannya, ya gak? Kita sama-sama paham lah yah.
Kalau bisa, semua produk kita pro lingkungan, karena arah dunia kita ke situ. Yang ramah lingkungan dan menyehatkan akan semakin laku, karena makin ke sini tingkat kesadaran orang-orang semakin naik.
Larisnya Tempat Nongkrong Sehat dan Keren
Dulu banget waktu SMP saya mau bikin kedai jamu sama temen. Hanya insting aja, karena itu unik dan keren.
Selesai kuliah, dia ngajakin saya wujudin mimpi cuma saya tolak karena saya merasa kami sudah gak sejalan lagi.
Sekarang, karena banyak remaja jompo, banyak orang kena beragam penyakit aneh bahkan dari usia remaja, kedai jamu beneran ada dan menjamur sekarang. Banyak loh
kafe jamu keren sekarang. Saya sih gak pernah ke sana ya, karena biasanya saya meramu minuman fermentasi dan jamu saya sendiri. Saya lebih suka nongkrong di kedai susu murni seperti
Esturame supaya gak osteoporosis. Udah murah, sehat lagi. Kalau jamu saya masih bisa bikin sendiri, kalau susu buat diminum sendiri kan gak bisa.
Menurut saya ya bisnis minuman tuh gede banget sih untungnya, modal aer doang sama kemasan, bahan utamanya paling cuma berapa persen.
Aset yang Tak Tergantikan
Saya sih pengen banget keliling Indonesia tahun depan untuk melihat potensi daerah sekaligus jalan-jalan, ngumpulin data dan foto khas Indonesia yang laku untuk dijual di pasar internasional dalam bentuk produk digital. Bolehlah sekalian bantu mereka untuk masarin produknya secara cuma-cuma. Kebanyakan UKM tuh marginnya tipis, apalagi yang baru merintis, jadi kasihanlah kalau saya pasang tarif segala buat bantu-bantu mereka.
Kira-kira 10 tahun yang lalu sih saya sudah pernah coba berbagai produk UKM berupa makanan khas Indonesia dari Sabang sampai Merauke di JCC, saya ke sana waktu itu bersama ayah saya, disuruh jadi fotografer ensiklopedianya.
Cuma, kali ini pengen aja gitu lihat dapurnya langsung di daerah. Bukan hanya pamerannya.
Aset yang Utama
Produk yang unik, gak bisa ditiru, dan hanya ada di Indonesia itu adalah aset Indonesia yang utama. Baik budaya maupun sumber daya alamnya.
Kalau mau cuan, kalian yang punya modal buka aja tuh toko oleh-oleh khas daerah.
Abon gulung Manokwari, cakalang fufu Manado, pie susu Bali, bir pletok dlsb 🤤
Mau jual non FnB juga boleh.
Kalau mau laku keras mah jualnya jangan di kuburan, tapi di tempat-tempat yang strategis misalnya di bandara internasional Soekarno-Hatta atau dekat-dekat situlah. Lobi aja tuh tempat kalau bisa. Biar para turis yang mau pulkam mampir situ dulu.
Mau buka di luar negeri juga boleh, kebanyakan pendatang sih nikah sama warga lokal di sana ya supaya bisnisnya lancar.
Misalnya kenalan temen saya, dia nikahin wanita Jepang terus sukses jualan tempe di sana.
Pentingnya Edukasi, Literasi Digital
Untuk lebih mengenal dan bisa memanfaatkan sumber daya alam organik kita secara optimal, masyarakat perlu belajar.
Sejauh saya memantau dunia ekspor, yang dikirim tuh modelan daun pisang, daun salam, daun ketapang.
Padahal mah, tumbuhan yang berguna banyak buanget.
Ayah saya pernah nulis ensiklopedia flora, fauna, paku, lumut, ular dll, banyaklah soal biologi untuk mengedukasi masyarakat.
Cuma, jaman sekarang orang itu lebih suka berselancar di internet daripada duduk baca buku di perpustakaan.
Bagaimana jika kita buat versi web dan video dari hasil penelitian beliau tentang keanekaragaman hayati di Indonesia dalam berbagai bahasa?
Jadi, warlok bisa memanfaatkannya, sementara orang asing pun jadi mengenal juga dan tertarik dengan manfaatnya.
Selain bisa bantu banyak orang, pasti bakal cuan banget. Amal jariah + halal passive income, Bosque.
Hal Tersulit dalam Merintis dan Mengembangkan Usaha
Saya pernah kan meet up sama web developer gitu buat bikin proyek ini kira-kira tahun 2016 yang lalu, lah dia malah modus, cari calon istri.
Saya kagak maulah.
Kagak jadilah itu proyek, jadi terbengkalai sampai sekarang.
Ide ada, modal ada, cuma kalau partner kerjanya gak beres ya proyek kita bisa mandeg juga. Bahkan, bisa hancur gak karuan. Akan tetapi, karena sudah ada AI bahkan yang bisa membuat video dan web otomatis, saya rasa masalah yang satu itu tidak menjadi rintangan lagi.
Menurut saya ya, hal tersulit dalam membangun dan mengembangkan usaha adalah menemukan partner yang tepat dan profesional, yang kompatibel visi misi jangka panjangnya dengan kita.
Hal yang terpenting, harus bermoral. Mendahulukan akhirat daripada dunia. Salah partner aja, udah deh, berantakan semua rencana dan kerja keras kita. Gak peduli sebrilian apa pun ide kita dan sebanyak apa pun modal yang kita punya, partner yang salah akan membawa kesialan dan kehancuran bagi usaha kita. Nauzubillah min dzalik.
Jangan gaet yang maunya untung gede-gede dan cepet-cepet hingga menghalalkan segala cara termasuk nyuri karya orang, bikin orderan fiktif dan bli followers palsu.
Udah kagak berkah, merusak reputasi.
Orang jaman sekarang itu gak bodoh ya Shay, mereka bisa bedain mana trusted seller mana rubah berbulu domba alias tuti dengan jeli, jadi mending jangan cari penyakit.
Kalau reputasi kita sudah rusak, udeh bakal susah banget dah itu jualan barang-barang yang sangat membutuhkan kepercayaan dari konsumen terkait keasliannya misalnya madu, vitamin, obat-obatan, perhiasan dan benda elektronik.
Menjadi Pedagang yang Beretika
Walaupun kita pedagang, jangan terlalu oportunislah, tetap ada etika yang perlu kita jaga. Jangan pernah membodohi-bodohi atau merusak kepercayaan orang lain demi keuntungan komersil.
Kita harus benar-benar menjaga kepercayaan calon pembeli apalagi pelanggan, melayani dengan sepenuh hati.
Kita berjualan bukan demi uang semata, kita berjualan karena ingin membantu dan membahagiakan orang-orang lewat produk atau jasa yang kita jual supaya Allah ridho sama kita.