Sewaktu SMA, saya sering galau dan berpikir di bawah pohon belimbing.
Saya bertanya-tanya, sebenarnya hidup ini apa dan untuk apa sih? Kenapa orang-orang begini dan begitu? Mereka semua kok menjalani hidup dengan cara yang berbeda-beda? Mana yang benar sih?
Saya sadar bahwa waktu dan kemampuan saya terbatas, saya gak punya kesempatan untuk mengalami segalanya, keliling dunia atau baca semua buku untuk tahu hakikat hidup ini. Saya mau tahu hakikat hidup ini dengan jalur cepat, karena kematian itu pasti dan saya gak tahu kapan waktu kematian saya. Saya mau mencari tahu jawaban dari segala pertanyaan yang selama ini membuat saya penasaran. Soal kebenaran, kebahagiaan, intensionalitas, jiwa, perasaan, hukum alam, soal segalanya.
Saya pun ke perpustakaan, baca kumpulan cerpen yang berjudul "Anak yang Tak Kembali".
Di bagian pertama ada cerita tentang anak yang seperti saya, untuk menjawab pertanyaanya itu ia belajar filsafat.
Di bagian pertama ada cerita tentang anak yang seperti saya, untuk menjawab pertanyaanya itu ia belajar filsafat.
Dari situ saya cari tahu soal filsafat. Oh ternyata filsafat adalah mother of science alias induk dari segala ilmu, refleksi tingkat dua, dia membahas segalanya termasuk inti kehidupan secara radikal, sistematis dan holistik. Dia membahas inti-inti atau apa yang esensial secara mendasar. Saya pun memutuskan untuk milih jurusan filsafat seperti tetangga sekaligus teman abang dan abang teman saya, Otto Trengginas Setiawan angkatan 2006.
Sebelumnya, saya pernah berdoa kepada Tuhan supaya dipilihkan jurusan kuliah yang cocok dengan bakat dan minat saya, sesuai soul purpose atau soul mission saya. Saya dipandulah ke sana. Saya yakin bahwa filsafat adalah jalan saya. Eh benar tembus dong lewat satu-satunya tes yang saya ikuti. Saya tidak mengikuti tes lain karena saya fokus dan yakin pada pilihan saya itu.
Papa saya kaget sekaligus bahagia sekali ketika mengetahui saya masuk jurusan filsafat, soalnya beliau gak pernah cerita soal filsafat dan gak tahu bahwa saya memilih jurusan itu.
Urusan sekolah, sejak dulu saya milih sendiri.
Dari SMP, SMA dan kuliah itu saya milih sendiri. Papa saya berpikir bahwa anak itu sekolah ya untuk dirinya sendiri bukan untuk orang tua atau siapapun itu. Mau pilih apa aja terserah, yang penting mau belajar dan bertanggung jawab, gak malas-malasan apalagi sampai bolos demi tawuran atau main ke warnet.
Lagipula, kan kita yang lebih memahami diri kita sendiri, kita yang akan menjalani hidup kita dan sesuatu yang dipaksakan itu gak baik.
Papa saya ternyata adalah pecinta filsafat, sehingga nyambung bangetlah kalau ngobrol dengan beliau tentang hal ini.
Akan tetapi, kami sering kali beda pandangan.
But that's okay, beda pandangan itu wajar bahkan bagus untuk meluaskan pandangan, memperkaya budaya dan memperindah kehidupan.
Orang yang fanatik, maunya diiyain atau setuju terus sama dia itu gak bisa diajak ngobrol apelagi kerja sama. Kalau kita beda pandangan responnya cuma diam, bilang kita gak ngerti atau gak sefrekuensi. Lah, ya ngapain coba kita ngobrol atau diskusi kalau pikiran kita sama persis? Melontarkan pandangan yang berbeda kan artinya belum tentu gak ngerti, tapi ya beda perspektif aja. Beda itu gak selalu buruk dan hierarkis, malah bagus supaya kita bisa saling melengkapi dan menyeimbangkan. Misal, si A bilang kunci kecantikan itu inner beauty dengan selalu bersyukur dan bahagia. Saya bilang faktor luar atau yang fisik juga penting untuk diperhatikan. Misalnya dengan jaga asupan makanan dan minuman yang sehat, olahraga, tidur cukup, minum cukup, sumber air bersih, udara bersih, dll. Sebab, kesadaran itu kan menubuh, antara materi dan non materi itu nyatu, antara fisik dan non-fisik saling mempengaruhi. Apa yang kita lakuin dengan fisik kita itu ngaruh banget lho ke dimensi batin kita. Jangan hanya melihat dari satu sisi atau satu dimensilah, segalanya itu terhubung, bukan bagian yang terpisah-pisah. Mau cantik ya usaha luar dalam, jangan lihat pakai satu mata nanti pincang sebelah. Tesis ketemu antitesis jadinya sintetis, pemikiran kita jadi lebih utuh dan hasilnya bagus.
Filsafat itu sendiri apa sih?
Simpelnya, filsafat adalah bagaimana caranya untuk memahami dan menempatkan segala sesuatu secara bijaksana alias tepat, etis dan estetis. Definisi yang saya buat ini disetujui oleh Pak RoGer waktu dia nanya ke saya filsafat itu apaan di kelas metodologi penelitian di semester 7.
Kalau mau diuraikan, bagaimana caranya untuk memahami dan menempatkan itu soal epistemologi.
Segala sesuatu itu soal ontologi.
Secara tepat itu logika.
Etis dan estetis itu soal aksiologi (etika dan estetika).
Di filsafat, kita belajar buah pemikiran para pemikir besar soal itu.
Pendapat mereka tentunya beragam, makanya muncul banyak aliran atau isme-isme.
Ada yang mencetuskan pemikiran a, ada yang mengkritik a dan menawarkan b, ada yang memadukan a dan b jadilah ab, ada yang mengkritik ab jadilah c dst ...
Intinya, tujuan mereka adalah mengubah pola pikir masyarakat.
Kenapa pola pikir kok diurusin banget?
Ya karena mereka merasa peduli dan gak nyaman dengan pola pikir masyarakat waktu itu.
Pikiran adalah rahim dari segala aktivitas yang menentukan arah dunia.
Kalau kita mau mengubah dunia (kita) menjadi lebih baik, kita harus benerin pola pikir kita dulu, dong?
---
Waktu lebaran atau kumpul-kumpul keluarga, ada aja tuh pembahasan soal jurusan kuliah.
Filsafat kerjanya jadi apa?
Tentunya hal yang berkaitan dengan pembuatan kebijakan atau sesuatu yang dapat mengubah (pola pikir) masyarakat. Paling ideal ya bekerja di bidang pemerintahan atau edukasi.
Soal pekerjaan, saya rasa setiap pekerjaan itu mulia dan punya keistimewaannya masing-masing. Gak perlulah kita merasa bahwa pekerjaan kitalah yang paling atau lebih mulia, begitupun sebaliknya. Semua pekerjaan punya fungsinya masing-masing untuk menjaga keseimbangan di dunia ini. Saling menghormati aja dan berikan apresiasi yang layak bagi sesama.
Mulia atau tidaknya suatu pekerjaan itu bukan tentang apa yang kita kerjakan semata, tapi juga tentang bagaimana niat dan cara kita dalam bekerja.