Friday, 27 May 2016

Melipir ke Desa

Ramadhan lalu, saya belajar Qur’an dan berjilid-jilid hadits dari berbagai prawi berlabel shahih yang saya dapat dari salah satu proyek yang saya bantu. Saya juga baca ensiklopedia al-hadits dan buku sufi. Cuma ya namanya orang baru belajar, kalau kata Zen mah hendaknya utuh di dalam sampai materinya benar-benar selesai dan penguasaannya mantap. Rasanya kurang wise kalau baru baca sepotong-sepotong langsung publikasi maksimal kayak reporter ngejar setoran. Buru-buru memuntahkan kembali "potongan daging mentah" resikonya bisa sesat dan menyesatkan. Lagipula, yang baru untuk saya kan belum tentu baru untuk yang lain. Banyak yang lebih kompeten juga.

     Immanuel Kant juga pernah dalam setahun nggak nulis satu kalimat pun—dia cuma baca. Yang jelas, menghidupi keyakinan itu memang jauh lebih sulit ketimbang sekedar mempelajarinya. But at least, saya harus niat dan nyoba terus. Masalah hasil, saya berserah diri pada Yang Maha Kuasa aja. Pusing juga kalau segalanya dipikirin mulu (trust me, i've tried). Bisa berjihad bersama mereka yang kita cintai dengan rasa penuh syukur itu yang terpenting. Orang yang tulus berbuat baik setiap saat tentu nggak akan menyesali apapun dan takut mati kapanpun.
     Setelah mendalami ilmu ini itu, nurani pun menggiring saya untuk hijrah ke Desa. Di tepi sungai dataran tinggi yang dialiri mata air seperti padepokan para wali, saya tinggal selama beberapa waktu bersama mahram saya. Di sana terdapat umbi-umbian, sayur-mayur, kacang-kacangan, buah-buahan, berbagai ikan, serta bebek peking yang bertelur setiap hari. Itu baru yang ada di lahan saya lho, belum lagi di luar itu yang juga serba gretongan dan organik karena saya cukup dekat dengan para empunya yang dermawan.
     Kalau punya kebun organik sendiri itu enak. Bisa hidup sejahtera dan damai tanpa merusak, bisa amal jariah dan ibadah sunnah kapan aja banyak-banyak. Nggak harus nguli sama orang lain yang belum tentu benar atau tergantung supplier dan customer yang suka seenak jidat. Mau trend berubah-ubah, dollar naik sampe berjuta-juta, krisis moneter, inflasi, pasar saham jungkir balik, kartel menggurita, petani pada puso, Bumi dilanda badai matahari, kita masih bisa hidup sehat riang gembira. Kata Nabi Muhammad SAW sendiri, makanan adalah harta umat yang paling utama dan bisa menjaga umat dari perilaku meminta-minta. Adalah makanan yang membuat jiwa kita yang menubuh ini tetap eksis di dunia fisik yang berjiwa ini—bukan uang, internet, kendaraan, rumah mewah, ketenaran, maupun gelar.
     Pernah ada suatu masa di mana uang itu nggak laku untuk membeli makanan. Dan bukan mustahil bila hal itu akan terulang lagi. Terlebih, ketahanan pangan global saat ini semakin lemah dan daya hancur kita kian dahsyat. Udah banyak banget rantai makanan kita yang punah akibat pilihan kita sehari-hari, konsekuensinya, piramida makanan kita pun semakin rapuh. Tinggal nunggu aja kapan robohnya. Seriously, it's only a matter of time.
     Emas kuning tentu nggak bisa beranak sendiri. Tapi kalau emas hijau? Kita lempar satu biji ke tanah terbuka aja, biji itu bisa jadi jutaan batang, miliaran bunga dan buah, triliunan daun dan biji lagi. Sepasang ikan pun bisa jadi jutaan anakan dalam waktu singkat (such as salmon, moa, bandeng, tenggiri, tuna, layang, bawal). Yang namanya bisnis organik itu tidak menghasilkan limbah. Karena sampai kapan pun, seluruh makhluk hidup akan tetap membutuhkan aliran energi yang pro kehidupan dalam skala besar setiap harinya. Seandainya produk kita nggak lolos sortir pun, sesimpel-simpelnya, produk itu masih bisa kita jadikan pupuk organik dan bahan bakar biogas.
     Jika kita adalah seorang idealis yang ingin mendapatkan massive income untuk bakti sosial dan lain-lain secara aman, halal, menyehatkan, dan menyenangkan... mengelola lahan organik milik sendiri bersama pasangan untuk konsumsi sehari-hari dan bisnis "produk organik olahan yang sterling dan sulit ditiru" (yup, added values itu amat penting) sekaligus merupakan salah satu jalur realistik yang jenius. Untuk bantalan seandainya bisnis kita mengalami kejatuhan hingga pailit, kita bisa nyambi nulis buku, mengajar, dan atau melakoni sambilan berprospek bagus lainnya. Dengan menulis, kita bisa menguatkan sinergi IQ-EQ-SQ kita, memperoleh keuntungan mengalir jangka panjang, tetap terhubung dengan dunia secara efektif dan efisien, memperoleh teman-teman sejiwa yang setia menyokong, dll. Saran saya, seaman apa pun bisnis kita nampaknya, selalu siapkanlah berbagai back up yang kokoh menopang untuk kemungkinan terburuk agar kita tak jatuh terpuruk sampai ke dasar jurang.
      Penjaga kebun saya adalah lelaki feminim yang kocak dan jago masak, nama bekennya di kalangan waria adalah “Ambon” (nama samaran). Dia itu ceweret dan galak macam soang ke orang-orang tertentu. Di mata saya sih dia itu menyenangkan dan penuh dedikasi. Kalau diperlakuan sebagaimana manusia yang butuh dipahami dan diperlakukan dengan baik juga, ya dia baik. Hobinya itu ngumpulin baju, sendal, dan tas wanita gitu. Dia juga suka dangdutan dan nontonin orang-orang pacaran di gelanggang. Wajahnya seperti korban suntik silikon pada umumnya; tapi dia ini agak aneh karena nyuntik sendiri. Kisah hidupnya di masa lampau itu keras dan binal—tapi, dulu ya dulu. Saya sih woles aja sama dia, toh dia nafsunya cuma sama lelaki. Ruangan dia dengan kami terpisah jauh. Meskipun dia suka pake fesyen serba pink, ketang, dan blink-blik yang menusuk mata ... toh, dia lebih bernyali tinggal di situ sendirian daripada mereka yang mengaku cowok tulen.
     Pernah sesaat setelah adzan magrib berkumandang, saya jalan ke ujung lahan untuk berwudhu di sumur gelap nan mencekam melewati kamarnya si Ambon sambil berseru “Sholat... sholat... sholat...” seperti biasa untuk mengingatkan. Di sana saya melihat sosok putih memakai mukena membelakangi saya, sedang melakukan gerakan takbir. Saya ketawa-ketiwi dalam hati, mengira itu si Ambon. Namun saat mengerling ke sisi lain ruang itu, lah, saya lihat si Ambon lagi anteng duduk manis dengan kopiah, baju koko, dan sarungnya sambil ngudud di depan perapian. Pas saya lihat lagi, sosok itu sudah lenyap! Saya lanjut jalan aja tanpa ngucap sepatah kata pun. Waktu saya cerita soal ini ke dosen saya saat main ke rumahnya yang semerbak wangi hio dan dipenuhi anjing ras itu di kemudian hari, katanya yang bisa melihat itu biasanya yang bersih; yang suka puasa dan nggak sembarangan makannya kayak aktivis hardcore macam dia. Dia mengiyakan bahwa di sini magic-nya memang gila-gilaan; dari tukang sempak sampe pengusaha Reklamasi pada pake.
     Kalau level spiritual kita masih lemah memang bahaya, apalagi kalau mau jadi pengusaha di desa. Saat ini pun saya ketat banget soal makanan, biasa makan yang direbus dan hambar-hambar tanpa minyak sawit juga setiap hari. Terus, dosen saya nyaranin agar saya temenan aja sama para demit itu kayak orang Bali atau Islam Kejawen pada umumnya. Hahaha. Pernah memang, suatu malam saya sendirian di lahan dan merinding tiada henti—bahkan ketika sholat Isya. Perasaan nggak enak banget. Kata orang, kalau penampakan mereka baik, berarti mereka menyukai kita. Kalau nakutin, berarti nggak. Berdasarkan rumor yang beredar, sudah sering sekali muncul penampakan kuntil anak berdarah, gunderowo, nenek lampir, dan lain-lain yang horor abis di sekitar lahan saya selagi saya nggak ada. Itu berarti saya aman, dong? Bahkan diuntungkan. Yah lumayan lah, mereka bisa bantu saya jaga lahan dari orang-orang jahil yang keimanannya kurang. Fyi, kediaman kosong di desa itu udah biasa dijadiin lapak untuk menunaikan hasrat terlarang lho. Mulai dari mabok miras oplosan sampe pemerkosaan bergilir. Maklum, SD aja pada nggak tamat. Baca pun jarang. Jadilah dukun yang sesat itu sebagai pelarian untuk menyelesaikan 1001 problematika kehidupan.
     Tinggal di desa itu memang enak; bisa bebas berenang, berlari, memancing, memanjat. Dingin-dingin, mau makan-minum apa aja serba ada. Hidangan terlezat yang pernah saya santap dan nggak terlupakan hingga detik ini adalah bebek peking organik yang dipanggang medium rare oleh si Ambon. Dagingnya yang juicy dan amat gurih itu adalah pure heaven yang kenikmatannya tiada tara. Rasanya seperti diterbangkan oleh sayap-sayap malaikat sejak gigitan pertama.
     Namun, di desa itu ada nggak enaknya juga. Jujur aja, saya merasa insecure. Saya rasa sudah menjadi rahasia umum kalau tempat sepi di pinggiran sungai yang jauh dari tetangga itu adalah best camp bagi para lelembut dan hewan liar. Saya dan Ambon sih udah biasa sama yang begituan. Cuma, yang kami khawatirin bukan itu. Di sana tuh kasus pencurian, kekerasan seksual, praktek ilmu hitam, dan main hakim sendiri sangat lazim terjadi. Perempuan belasan tahun sudah biasa aborsi dan gendong anak tanpa suami. Jangankan HP, perkakas dapur dan bangunan aja dicuri. Motor digembok dalam rumah kecil pun sering raib tanpa sepengetahuan penghuninya. Untuk ambil satu ayam aja, bangsatnya bergerombol bawa senjata malem-malem. Kalau naksir bisa melet, kalau sakit hati bisa nyantet. Cobalah terjun langsung. Kelak, Anda akan mengetahui.
      Saya nggak pernah jadi korban memang, cuma ya was-was aja. Siapa pun bisa jadi the next, kan? Maka dari itu, saya nggak bisa lama-lama di sana. Meskipun, di sana saya bisa hidup lurus dan bisnis organik itu harus diawasin sendiri biar bener. Sebagian dari mereka memang sering bantu saya tanpa diminta. Mereka memang ramah banget, tapi hati orang siapa tahu? Saya rasa nggak ada yang bisa mengalahkan keliaran dan kemisteriusn hati manusia. Manusia dengan totol hitam di jidat dan turban bergulung-gulung pun bisa merampas keperawanan dan nyawa yang bukan haknya, kan? Bahkan, dengan nggak tahu malunya masih berani ngucap “alhamdullilah” ketika berhasil.
     Di desa-desa tertentu, hidup mengandalkan lahan organik itu memang sulit—apalagi kalau hanya sendiri. Saya sih pengennya juga nikah biar hidup lebih tentram dan ringan. Cuma, rekan sejiwa dan sevisi yang bernyali dan reliable sekaligus saya cintai itu bak jarum di tumpukan jerami. Di luar itu sih bejibun, tapi buat apaan? Selama ini kalau saya nemu orang desa yang pas, yah... sudah sibuk ngurus lahan bareng istri. Ada pun single potensial, tapi nggak meyakinkan. Jangankan ngilangin kecemasan, justru mereka yang jadi kecemasan saya! Meskipun cinta, saya nggak ngarep banyaklah sama anak kota, apalagi yang sudah nyaman dengan hidupnya yang serba enak. Hidup merdeka tanpa merusak di kota juga bisa aja sih, asal punya lahan organik dan green tech. Cuma, ya modal dan pajeknya nggak dikit.
     Mau hidup benar di tengah gempuran para perusak memang penuh tekanan dan rintangan. Jelas, mengalun bersama gelombang itu jauh lebih mudah daripada bergelut menghadapinya. Makanya, kadang lebih baik tirakat aja.

Tuesday, 24 May 2016

Jurnal Mimpi

 

Besarkan hati, luaskan pikiran.
Ikatlah nafsumu, bukan calon korbanmu.

Ernflaw


Saya nggak pernah tertarik untuk melahap novel ataupun cerpen sampai habis, sampai suatu ketika, secara nggak sengaja saya melirik karya Mbak D yang terselip di lantai dua Perpustakaan Pusat kampus saya tahun 2012 silam. Dari judul dan covernya aja buku itu sudah bicara dan memikat hati saya. As usual, first impression saya nggak meleset. Cita rasa buku itu memang otentik dan bikin saya mindgasm karena banyak alasan. Tapi, saya berusaha untuk nggak mengagumi dan menyanjungnya secara berlebihan. Sebagaimana Sapardi Djoko Damono yang senantiasa tampil low profile dengan warna-warna Bumi-nya, saya pun ingin mencintai sesuatu dengan sederhana. Dua sobat kental saya sih bilang kalau saya ini obsesif, tapi saya ngerasanya biasa aja. Toh, saya nggak pernah niat ngukir nama pujaan hati saja secara permanen di dada kayak Johnny Depp; atau ngintilin dia ke mana-mana, ngunyah ampas permen karet bekas dia, bikin patungnya dari situ, lalu nyembah-nyembah itu patung secara sembunyi-sembunyi kayak Helga G. Pataki kepada Arnorld yang berkepala bakso gepeng itu.
   Saya nggak peduli dengan kehidupan pribadi si penulis yang katanya gelap bak malam tak berbintang. Adalah keterserahan bagi dia untuk bagaimanakan pikiran dan tubuhnya. Toh, dia sadar konsekuensi dan nggak maksa yang lain untuk ngikutin dia juga. Saya apresiasi sisi positifnya aja dan memaafkan sisi negatif yang dosanya personal itu. Saya suka cara berceritanya yang lepas landas, ekspresif tapi nggak murahan, dan permainan diksinya yang jenaka sekaligus thought-provoking.
     Semalam, ceritanya saya mimpi bertemu dia di sebuah gedung perpustakaan tua berwarna madu yang bernuansa klasik macam tempat Carrie Bradshaw batal nikah sama si dandy Mr. Big. Dia pakai singlet hitam, sibuk mondar-mandir, ngurus sesuatu sambil menghisap sebatang rokok putih yang terselip di sela jemarinya yang jenjang sesekali. Di mejanya ada segelas red wine dan lighter kecil ber-casing batu alam seputih salju yang terukir cantik dan super elegan. Saya iseng minta fotonya, lalu dengan sigap dia pasang pose keren dengan kepercayaan diri maksimal. Saya sempet tertawa ringan dibuatnya. Nggak ada senyum yang mengembang saat saya membidik dari balik kamera powershot yang tiba-tiba ada di tangan saya, tapi wajah awet mudanya yang terasa familiar tetap sedap dipandang mata. Sejurus kemudian, dia berjalan ke sebuah rak, lalu ngasih unjuk saya sebuah buku berdebu dengan kertas yang sudah menguning dan penuh bercak kecokelatan di bagian tepinya. Buku usang itu berisikan draft cerpen-cerpen lamanya yang nggak pernah dipublikasi; kek cuma suaka untuk terapi kejiwaan dan konsumsi pribadi macam buku diary dengan format penulisan yang amat terstuktur tapi aksaranya berkaligrafi bak kitab kuno yang ditulis tangan dengan tinta celup dan bulu unggas gitu. Judul cerpennya aneh-aneh, tapi menarik sebagaimana khas dia. Lalu, kita ngobrol-ngobrol seru di sana tentang kesamaan yang kita geluti.
     Sebelum saya beranjak pergi dan bersua dengan teman-teman lawas saya yang nggak saya ketahui lagi bagaimana kabarnya karena lost contact, saya sempat berkata santai gini ke dia, “Menurutku, penulis yang sukses itu yang bisa menginspirasi pembacanya untuk menulis juga. Mba ini seakan begitu menikmati dan bangga dengan profesi Mba sebagai penulis, sehingga aku pengen nulis juga.”
     “Ya,” ujarnya sambil manggut-manggut dengan air muka yang tenang dan searif Dalai Lama. “Kenikmatan itu muncul ketika kita bisa mencipta karya yang baru dan berguna. Tapi penulis nggak mengubah pembaca lho, dia cuma menginspirasi pembacanya untuk berubah.”
    Usai berjumpa Mbak D, lagi-lagi saya mimpiin pemuda flamboyan bertampang psikopat yang ngakunya sudah tobat tapi saya nggak percaya namun tetap perlu didukung itu. Ada kesamaan antara dia dengan Mbak D. Seperti Mbak D, dia pun bisa memancarkan pesona lewat setiap pilihan non-verbal yang tepat. Mungkin karena alasan itu saya bisa langsung jatuh cinta pada keduanya sejak pandangan pertama. Tanpa inner beauty, semahal apa pun perawatan tubuh itu nggak menarik.

Sunday, 22 May 2016

Living by Killing?

 

Kehidupan adalah siklus
Suatu perputaran terus-menerus
Yang mempertahankan keseimbangan
Keseimbangan adalah hasil
Kerjasama dan kompetisi
Dari berbagai peran berkarakter
Yang bersinergi
Terus-menerus
Sesuai batas kewajaran

-Ernflaw


Ikan-ikan berenang lincah, dagingnya tentu segar bila sirkulasi energinya pun bersih dan lancar. Ayam-ayam bebas berkeliaran mencari makan, daging dan telur-nya kaya rasa dan bebas penyakit. Hewan ternak yang kurang berjemur, kurang gerak, kurang udara bersih, kurang nutrisi—tak ubahnya seoonggok bangkai penuh penyakit. Tapi, berapa banyakkah pengusaha yang tak melulu mengedepankan efisiensi? Berapa banyak pengusaha yang sudi mendengarkan alam dan nuraninya sendiri? Check this out. And many more...
                Ia menggali tanah di lahan terbengkalai, peninggalan orangtuanya yang termakan omong kosong “kemajuan”. Ada banyak bungkus produk yang sulit terurai dan komposisinya pun mematikan. Produk yang proses produksi dan distribusinya menghasilkan polusi itu pula, merupakan produk keseharian yang sebagian labanya dipakai untuk mendanai perang di Timur Tengah sana. Ia merasa lucu dengan orang-orang, bekoar-koar soal perdamaian dunia, tapi masih juga memakai aneka produk yang mendanai perang setiap hari. Bila diakumulasikan, donasi sesekali untuk korban jelas telak di bawah donasi untuk pelaku kejahatan. Tapi, berapa banyakkah pembeli yang berideologi? Yang tahu perputaran uang dan dampak dari apa yang mereka konsumsi? Yang tahu mengapa harga komoditasnya bisa murah? Yang ucapannya sejalan dengan tindakannya?
                Ia melihat seorang pengembala bugar membiarkan sapinya yang jinak memakan rumput yang segar. Sapi menghasilkan susu dan daging, gas buangannya berguna untuk menghangatkan Bumi yang semula hanya -18° C, kotorannya menyuburkan dan bisa jadi bahan bakar, kulitnya hangat dan lentur. Sungguh berguna, pikirnya, tak tahu diri namanya bila hewan sebaik itu masih diperlakukan semena-mena. Tapi, berapa banyakkah yang memperlakukan sapi dengan manusiawi? Apakah manusiawi mengandangkan sapi dalam kandang sempit menyengsarakan, inseminasi buatan untuk dibuat hamil dan diambil susunya terus-terusan, menyuntikkan rBGH, memberi pakan hasil rekayasa penuh sintetik berbahaya yang itu-itu saja, dan melepas nyawanya dengan sakit yang menyengsarakan?
                Setiap makhluk hidup terkutuk untuk makan dan dimakan. Mustahil murni baik di dunia ini, mustahil hidup tanpa membunuh. Yang paling mungkin hanya membunuh dengan menciptakan sedikit mungkin rasa sakit dan kerusakan. Buah dan non-buah yang jatuh dari tangkainya pun, penuh kehidupan dalam skala mikrokosmos. 
                Selesai berkebun, ia pun makan makanan organik secukupnya. Dengan berlebih-lebihan, itu sama saja membunuh banyak nyawa yang berharga untuk sesuatu yang sia-sia. Daya homoestatis pada segala yang hidup, akan membuang lagi kelebihan nutrisi demi mempertahankan keseimbangan yang menjadi kunci kehidupan. Memang yang hidup punya daya homoestatis, tapi bagaimana jika self-destructing yang terjadi lebih cepat dan lebih besar dari self-healing?
                  Sungguh beruntung mereka yang makan dari apa yang ditanam sendiri secara ekologis dan manusiawi. Sungguh naas mereka yang hanya punya uang dan bergantung hidup pada mereka yang melampaui batas.


Friday, 13 May 2016

Meretas Kecanduan

Kadang fungsi buku tak ubahnya rokok, cuma buat alasan aja agar bisa menikmati kesendirian di suatu tempat yang sama berlama-lama. Saya sering buka buku, tapi mata ke mana fokus ke mana. Aneh aja sih kalau merenung atau menikmati fenomena tanpa ada kegiatan sampingan, entar disangka kesambet atau pengen bunuh diri. Namun hingga detik ini, saya nggak pernah ngerokok barang sehisap pun. Sama kayak making out aja sih, sekali udah kecanduan, kemelekatan pada kenikmatan rokok bakal susah dilepas; otak bakal terngiang-ngiang dan nagih terus.

           
Ada yang namanya studi kasus dan ego transendental, nggak mesti ngalamin dulu untuk memahami kan...?

Pengetahuan baru, kritik, ataupun nasehat... apalagi yang disampaikan secara etis dan estetis. Meskipun itu bertentangan dengan saya, kalau muatannya baik dan benar, ya saya terima. Yang apa adanya kan nggak selalu baik, mau mengubah dan berubah juga tanda cinta yang bisa berbuah manis di akhir. Kadang kita memang perlu membunuh (sebagian) diri berkali-kali untuk bisa terlahir kembali dengan format yang lebih baik. Dengan menjadi ignorant yang sombong dan defensif pada masukan yang baik, itu sama aja kek mengutuk diri sendiri untuk selamanya menjadi ulat.

Arti sahabat menurut saya adalah yang berani menegur seperti L. Lawliet, bukan yang setuju-setuju aja asal Anda senang, bukan yang tega membiarkan bahkan menghasut teman sendiri ke jurang kegelapan. Jika kebanyakan orang tidak berpikir; apakah bijak menyenangkan yang banyak itu secara membabi-buta demi penerimaan atau popularitas?

Namun masalah berhenti menjadi pecandu itu masalah komitmen sama diri sendiri dan buat diri sendiri aja sih. Mau sesadis apa pun hasutan dunia pergaulan, mau sesabar apa pun pacar yang penuh kasih sayang itu nasehatin, itu nggak bakal bikin Anda berhenti jadi pecandu kalau diri Anda sendiri nggak bisa motong nafsu ke situ. Cari, atau buat candu baru yang lebih sehat mungkin bisa lebih membantu.

Menyalahkan yang lain seperti mengatakan bahwa yang lain memberi pengaruh adalah bad faith karena semua keputusan tetap berada di tangan kita masing-masing. Teman saya banyak yang pecandu rokok, miras, casual sex, atau riba ... tapi saya bisa kok nggak ikut-ikutan walaupun suka ditawarin. Penawaran tanpa pemaksaan menurut saya masih fine-fine aja. Kewajiban saya sebagai teman juga hanyalah sebagai pengingat yang nggak perlu memaksa. Respon yang lain mau bagaimana nanti, itu bukan urusan saya lagi.



Knowing others is intelligence
Knowing yourself is true wisdom
Mastering others is strength
Mastering yourself is true power
-Lao Zi (604-531SM)        

Monday, 2 May 2016

Seed under the Snow

Benih terkubur di bawah salju.
Menahan dingin, menolak beku.
Jangan kau tanya, "Kapan berkecambah?"
Jadilah vodka yang menghangatkan dan memabukkan,
hingga semiku tak terasa tiba.