Sunday, 9 February 2025

Hemat Waktu dan Tenaga

Pilih mana, pake waktu 5 jam dan tenaga untuk mencuci, menjemur dan menggosok pakaian atau untuk bikin konten yang bisa hasilkan pasive income?

Pilih mana, pake waktu 5 jam dan tenaga untuk belanja, masak dan nyuci-nyuci alat masak atau baca buku yang penting?

Ketika orang ngelaundri atau bli masakan jadi, bukan berarti dia boros atau malas, tapi buat dia, waktu dan tenaga di usia produktifnya yang sangat terbatas itu jauh lebih berharga daripada menghemat uang yang gak seberapa. Toh, dengan waktu dan tenaga yang dia hemat untuk mencuci dan memasak sendiri, dia bisa menghasilkan uang yang jauh lebih banyak.

Dengan uang 50.000, dia juga bisa bikin makanan seabrek, tapi lagi-lagi, yang mau dia beli bukanlah kuantitas makanannya, melainkan waktu dan tenaga orang lain sehingga dia bisa menghemat waktu dan tenaga dia sendiri.

Dengan membayar waktu dan tenaga orang lain untuk mengerjakan hal-hal substitusional yang kurang esensial, kan kita jadi bisa menggunakan waktu dan tenaga kita sendiri untuk melakukan banyak hal yang lebih bermakna.

Kalau sudah nikah ya beda lagi, kalau pasangan kita minta dimasakin ya masak.
Bersama orang yang tepat, kita gak akan pernah merasa buang-buang waktu atau tenaga kita. Kita malah akan merasa senang bisa menghabiskan waktu dan tenaga kita buat dia.
Apalagi kalau passive income kita sudah jalan.
Gak ada lagi lah alasan untuk nolak atau nunda-nunda permintaan pasangan kita karena sibuk sama kerjaan.
"Aku lagi sibuk Yang, dikejar deadline. Nanti dulu, ya."

Kalau dipikir-pikir, buat apa sih kita ngurusin banyak orang, kerja untuk orang lain, tapi pasangan kita sendiri terlantar dan pernikahan kita jadi berantakan?
Bukannya yang benar itu kita harus memprioritaskan pasangan dulu, baru orang lain? Ya, walaupun, orang lain itu adalah keluarga lama atau teman dekat kita sendiri.

Menurut saya sih penting banget ya kita mengusahakan passive income sebelum menikah, kalau bisa mah ya pensiun muda, supaya setelah nikah nanti, kita bisa menggunakan sisa usia kita untuk menikmati hidup bersama pasangan kita. 
Sudah gak pusing lagi mikirin uang. 

Cuma kan ada orang yang rejekinya kebuka setelah nikah, ya. Kalau nunggu stabil dulu mah, kapan nikahnya? Mending berjuang bersamalah daripada gak nikah-nikah. Selama agamanya bagus, visi misinya cocok, gas.

Saturday, 8 February 2025

Want to Defeate or be Defeated by Lust?

Segalanya punya waktu, porsi dan tempatnya masing-masing termasuk hasrat seksual.
Berbeda dengan hewan, manusia mampu untuk mengendalikan hasrat seksualnya dengan sadar, tidak peduli bagaimanapun keadaannya maupun objek di luar dirinya.
Kemampuan pengendalian diri yang baik sangatlah penting untuk kita miliki agar kita tidak serta merta mengikuti hasrat seksual kita sebagaimana hewan yang tidak berakal budi dan tidak memiliki hati nurani.

Orang yang beriman hanya akan menyalurkan hasrat seksualnya bersama pasangan halalnya semata setelah ia menikah, dan ia tidak akan berlebihan atau mencari sesuatu di luar itu.

Pengendalian diri yang rendah akan membuat kita menjadi tercela dan celaka. Sebaliknya, pengendalian diri kita baik, akan membuat kita selamat dunia akhirat.

Bagaimana cara agar kita dapat mengendalikan diri dengan baik? Tentunya kita harus memiliki prinsip yang jelas, serta sikap yang tegas dan konsisten dalam mengamalkannya. Kita juga bisa berpuasa dan berdoa.

Pilihan kita hanya dua teman-teman, mau mengendalikan hawa nafsu atau dikendalikan oleh hawa nafsu. Pilihlah yang konsekuensinya kita inginkan, pilihlah yang resikonya siap untuk kita tanggung.

Wednesday, 5 February 2025

Segalanya Ada Waktunya

Saat sedang lelah, orang tak butuh...
ceramah
kuliah
pendapat
kritik
saran
petuah
nasehat
ocehan
atau kata-kata mutiara

Semua hal itu baik, namun, tidak tepat waktunya.

Orang yang memberikan respon negatif atas semua hal itu bukan berarti orang yang bodoh, ngeyel atau keras. 
Bisa jadi kitanya saja yang kurang peka dalam membaca situasi, merasakan energi, memahami hati dan memberikan reaksi.

Kebaikan yang diberikan pada saat yang tidak tepat justru bisa menjadi masalah.
Masih ingatkah kita dengan ucapan Whitehead? Ya, kebaikan yang tidak pada porsi, tempat dan waktunya justru akan menjadi kejahatan.

Orang yang sedang lelah hanya membutuhkan...
istirahat sejenak
rekreasi 
relaksasi
dibuat nyaman
dibuat senang
dibuat tersenyum lebar dan tertawa riang
dibuat terbang dan mabuk kepayang

Orang yang membutuhkan semua hal itu bukan berarti orang yang malas, hedonis, mau enaknya saja atau tak kenal Tuhan. Semua itu manusiawi. Semua hal itu dibutuhkan sebelum mereka kembali berdoa, berpikir, belajar dan bekerja lagi.

Semua orang bisa merasa lelah.
Semua orang perlu jeda.
Semua orang perlu rekreasi, perlu relaksasi. 
Untuk itulah Tuhan menciptakan malam, menciptakan hal yang indah-indah dan enak-enak.
UNICEF pun menetapkan istirahat dan rekreasi sebagai hak bagi setiap anak.

Memaksakan diri yang lelah untuk terus bekerja tanpa jeda itu tidak manusiawi. Hal tersebut bisa membuat kita menjadi patah atau hancur luar dalam secara perlahan.

Bagaimana ciri-ciri orang yang sedang merasa lelah itu? 
Sulit untuk mengetahuinya secara pasti bila kita tidak bertatapan muka dengannya.
Kita hanya bisa menerka-nerka, dari...
Wajahnya yang murung dan sulit tersenyum.
Sorot matanya yang kosong dan sedih.
Nada bicaranya yang rendah dan tidak bersemangat.
Kepalanya yang tertunduk, bahunya yang turun dan condong ke depan.
Percakapannya yang hemat kata.
Responnya yang mudah marah dan cenderung pasrah.

Ya, banyak tanda.
Sayangnya, sering kali kita tidak peka.
Orang-orang pun cenderung untuk menutupi keadaan yang sebenarnya.

Apakah kita salah jika kita gagal dalam memahami dan memperlakukan orang lain dengan tepat sementara orang itu sendiri tidak mau berterus terang bahkan berbohong tentang keadaannya?
Apakah kita salah jika tidak memberikan perhatian, pengertian atau bantuan apa pun kepadanya karena dia membuat kita berpikir bahwa dia baik-baik saja, bahkan, jauh lebih baik daripada kita dan tidak membutuhkan kita?

Ngomong-ngomong soal lelah...

Di kelas saya, ada satu murid yang kesehariannya adalah marah-marah sejak beberapa tahun silam. 
Setelah kembali dari luar negeri, dia nampak lebih tenang dan bahagia.
Ya, selama ini dia merasa begitu lelah dan memiliki kebutuhan yang tidak terpenuhi.
Namun, orang tuanya terlalu sibuk untuk memahami dan memenuhi kebutuhan/hak si anak untuk didengarkan, disayangi dan berekreasi.

Saya pun masih ingat dengan seorang pegawai administrasi yang terkenal judes di kampus saya. Alih-alih diperlakukan buruk olehnya, dia tersenyum dan bersikap ramah. Karena apa? Entahlah. Mungkin karena saya mau mencoba untuk memahaminya dan memberikan apa yang dia butuhkan.
Sederhana, yang dia butuhkan hanya dianggap ada dan diperlakukan dengan baik.
Ternyata, dia memang tidak seburuk itu.
Mungkin, orang-orang saja yang selama ini tidak mau mencoba untuk memahami dan memperlakukannya dengan baik.
Kenapa dia begitu judes? Banyak kemungkinan.
Mungkin dia lelah.
Mungkin kebaikannya selama ini tidak diapresiasi, malah dijadikan alasan oleh orang-orang untuk memperlakukannya secara kurang ajar. Bukankah begitu kultur kita? Orang baik cenderung disepelekan dan diperlakukan secara semena-mena? Alih-alih membalas kebaikan dengan kebaikan yang lebih, yang dibaiki sering kali malah ngelunjak bahkan menginjak-injak. "Ah, gak apa, dia ini. Dia gak akan marah."

Adapun wanita paruh baya dengan beberapa anak yang terkenal ketus dan kasar dengan kata-katanya, bisa memberikan senyum yang sangat manis dan bersikap ramah.
Karena apa? Hanya diperlakukan secara manusiawi. Dilihat, diberikan senyum, dibantu dan tidak dipersulit urusannya.

---

Amat disayangkan. Sering kali kita hanya menunggu agar ekspektasi kita dipenuhi oleh orang lain.
Sementara, kita sendiri enggan untuk memenuhi ekspektasi orang lain. 
Ingin disapa, tapi enggan untuk menyapa lebih dulu. Ketika orang lain tidak menyapa kita lebih dulu, orang itu kita bilang sombong, ketus, belagu, gak sopan, cuek, judes, jutek dlsb.
Padahal, ada banyak kemungkinan lainnnya. Misalnya dia minus, pakai kacamata tapi lensanya tidak sesuai, dia malu, dia sedang tidak fokus atau sedang sibuk memikirkan suatu hal, dlsb.
Ingin dihormati, tapi kita sendiri enggan untuk menghormati lebih dulu.
Ingin dipahami, tapi kita sendiri tidak berusaha untuk memahami lebih dulu.

Menunggu, berekspektasi dan menghakimi memang jauh lebih mudah daripada memulai lebih dulu, memberikan contoh dan mencoba untuk memahami. Anehnya, bisa-bisanya kita berharap atau menuntut orang lain untuk melakukan ini itu, padahal kitanya sendiri enggan atau tidak pernah melakukan hal-hal tersebut untuk orang lain.