Monday, 30 December 2024

Hisablah Diri di Dunia Sebelum Dihisab di Akhirat

Muhasabah atau introspeksi merupakan hal penting yang perlu kita lakukan secara rutin sehingga kita tahu dimana letak kesalahan kita dan kita bisa memperbaiki diri agar lebih dekat denganNya (menuju kesempurnaan).

Akan tetapi, banyak sekali orang yang mengedepankan rasa penerimaan tanpa diimbangi oleh kemampuan untuk mengintrospeksi diri. Jadinya? Orang-orang cenderung mengulang-ulang kesalahan yang sama dan jiwanya tidak berkembang. 

Sama seperti rasa penerimaan, kemampuan untuk menghakimi juga sesekali diperlukan. Daripada kita dihakimi oleh orang lain atau di hadapan banyak orang di akhirat nantinya, bukankah lebih baik jika kita menghakimi diri sendiri di dunia sekarang? 
Intinya, mau tidak mau, suka tidak suka, cepat atau lambat, kita pasti akan dihakimi.
Paling tidak, jika kita masih berada di dunia, kita masih punya kesempatan untuk memperbaiki diri.
Di akhirat, kita tidak punya kesempatan itu lagi. Semuanya sudah terlambat untuk diperbaiki.

Saya sih tidak mau disiksa oleh perasaan bersalah dan menyesal nantinya akibat menyia-nyiakan kesempatan untuk muhasabah dan memperbaiki diri di dunia.
Lebih baik gak enak sekarang, daripada gak enak nanti.
Lebih baik kerja keras sekarang, supaya bisa bersantai nanti.

Sunday, 29 December 2024

Hal Tersulit Sejauh ini...

Apa sih hal tersulit sejauh ini?

Ya, ikhlas. Melakukan sesuatu semata-mata karena cinta kita kepadaNya dan untuk mendapatkan cintaNya dengan cara mencintai semua ciptaanNya terutama diri kita sendiri. 

Sering kali kan motif kita bukan karena cinta dan ingin dicintai olehNya. Akan tetapi, karena ingin memuaskan nafsu. Misalnya, nafsu terhadap harta, tahta, dan lawan jenis.
Kalau sejak awal motif kita bukanlah Dia melainkan ingin memuaskan nafsu, ya kita akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang kita inginkan, gak peduli Dia suka atau tidak dengan cara kita.

Kenapa orang korupsi? Karena niatnya bukan ridho Allah, melainkan ingin memuaskan nafsunya terhadap harta.
Kenapa orang bisa pacaran, melet, manipulasi atau merkosa? Karena niatnya bukanlah ridho Allah, melainkan karena ingin memuaskan nafsunya terhadap lawan jenis.

Banyak cara yang diridhoi olehNya tapi kok yang kita tempuh malah cara-cara yang tidak diridhoi olehNya (bohong, nipu, zina dll)?
Simply, karena sejak awal niat kita tidak ikhlas--kita tidak hidup untukNya, kita tidak cinta kepadaNya dan tidak ingin mendapatkan cintaNya.

Jika tujuan kita bukanlah Dia, melainkan ingin mendapatkan orang lain misalnya, maka, kita bukanlah orang yang ikhlas.
Ketika orang lain itu mengecewakan, kita akan patah hati dan berhenti melakukan hal-hal baik yang termotivasi olehnya
Sebaliknya, jika kita berbuat baik atau berubah untuk menjadi lebih baik karenaNya sejak awal, maka kita akan konsisten menjadi orang yang baik dan terus memperbaiki diri. 
Gak peduli kita jadian atau tidak dengan orang yang kita sukai. 

Kita gak bisa menyalahkan orang lain karena membuat kita patah hati. 
Yang menghancurkan diri kita adalah kita sendiri. Kita yang menargetkan dia sebagai tujuan, menjadikan dia motivasi, terlalu berekspektasi dan meletakkan hati padanya. 
Padahal, dia bukankah milik kita.
Orang lain bukanlah sesuatu yang dapat kita prediksi dan kita kendalikan. Apalagi, jika kita dan dia tidak memiliki ikatan, perjanjian atau kesepakatan apa pun.

Cukuplah kita meletakkan hati kita kepadaNya. Jangan pernah menjadikan orang lain sebagai motivasi hidup atau usaha kita.



Apalagi hal yang sulit selain menjadi orang yang ikhlas?
Melepas rasa kepemilikan atau peng"aku"an kita pada sesuatu yang sebenarnya adalah milikNya, karenaNya, kehendakNya, berkatNya atau anugerahNya. 

Untuk menyadarkan kita bahwa sesuatu itu adalah milikNya atau kuasaNya, sering kali Tuhan bikin kita gak berdaya, gak bisa ngontrol hal itu, bikin hal itu berada di luar kendali atau jangkauan kita, atau bahkan dihilangkan sama sekali dari hidup kita. 
Gak peduli mau sekeras apa pun kita mencoba untuk mencari, mendapatkan atau mempertahankannya.

Saat kita mencapai titik terendah di mana kita sudah merasa sangat lelah atau sangat menderita oleh ilusi kepemilikan atau rasa ingin memiliki yang kita buat sendiri, kita akan sadar bahwa sesungguhnya semua ini adalah milikNya, dan yang punya Kuasa penuh adalah Dia. 

Berangkat dari kesadaran bahwa kita hanyalah hamba yang tidak memiliki apa-apa termasuk daya untuk melakukan sesuatu, barulah kita bisa menjadi hamba yang tahu diri, rendah hati dan mudah bersyukur.
Kita tidak lagi memandang apa-apa sebagai milik kita atau karena kita, melainkan sebagai anugerah atau karunia dariNya, bentuk kemurahan hati dan kasih sayangNya kepada kita.

Kita bisa menempuh jalan yang lurus itu juga kan bukan berkat kehendak atau usaha kita, melainkan karena Allah meridhoinya (At-Takwir: 28-29).