Ketika ingin dipahami, kita lupa untuk memahami.
Memahami bahwa yang lain juga ingin dipahami dan memiliki beban yang sama beratnya.
Pernahkah kita berpikir, mungkinkah mereka menjadi kita sedetik saja?
Dan sebaliknya?
Ya, mustahil.
Takkan ada seorang pun yang bisa merasakan apa yang kita rasakan, mengalami apa yang kita alami, memikirkan apa yang kita pikirkan, menghadapi apa yang kita hadapi.
Hidup seseorang tidak bisa diwakilkan.
Jadi, wajar saja jika kita tidak benar-benar saling memahami walaupun kita hidup bersama selama ribuan tahun.
Tuhan kita satu, jiwa kita satu, tapi perjalanan dan sepatu kita berbeda.
Lagipula, tak semua hal bisa kita bahasakan dan perlu diutarakan.
Menuntut orang lain untuk memahami kita seutuhnya adalah hal konyol, marah karena mereka gagal memahami kita seutuhnya lebih konyol lagi.
Tak apa jika tak ada satupun manusia yang benar-benar memahami kita. Itu adalah takdir, sebuah kewajaran yang perlu kita terima.
Satu-satunya yang mampu memahami kita seutuhnya hanyalah Tuhan, bahkan jauh melebihi diri kita sendiri.
Tak seharusnya kita membebankan hal mustahil itu kepada orang lain, lantas terus-terusan merasa kecewa dan sakit hati kepada mereka akibat ekspektasi berlebihan yang kita buat sendiri.
Apa pun yang terjadi dalam kehidupan kita adalah yang terbaik.
Ketika terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan, apakah artinya Tuhan tidak memahami kita?
Tuhan yang gagal memahami kita, atau kitanya saja yang terlalu rewel dan banyak menuntut?