Anehnya ketika didekati oleh orang-orang, dia malah ketakutan dan memilih kabur, buru-buru menyembunyikan dirinya yang lemah ke dalam mesin mobil tetangga yang sulit digapai.
Terakhir tuh ada bapak-bapak yang bujuk dia untuk pulang bareng dengan lemah lembut tapi si oren tetap keras hati untuk hidup soliter, padahal keadaannya sudah memprihatinkan.
Akhirnya si bapak-bapak capek sendiri dan berputus asa, "Yaudah, kalau gak mau tak tinggal. Wes tak tinggal, ya."
Wajar sih si oren gak percaya sama yang lain, wajar dia takut disakiti.
Mungkin dia merasa dirinya gak berharga, gak layak untuk dicintai.
Wong ibunya sendiri menelantarkan dan menyakiti hatinya.
Belajar dari kucing, idealnya sewaktu kecil, anak memang dicukupkan akan hal itu (figur, cinta dan bonding bersama orang tua). Sehingga mereka bisa percaya pada cinta dan bisa membina hubungan yang sehat dengan yang lain di kemudian hari.
Pada banyak kasus yang saya amati, orang-orang yang bermasalah rata-rata punya hubungan yang kurang harmonis dengan orang tuanya semasa kecil, sama seperti si anak kucing. Mereka kekurangan figur, cinta dan bonding di fase awal kehidupan mereka. So they have a void inside their heart, they don't believe in love and they don't know how to love well because they weren't loved well enough by their parents. Yang begini kasihan dan obatnya satu, yaitu dicintai dengan tulus dan konsisten oleh orang yang sudah sembuh atau sudah mampu berdamai dengan dirinya sendiri termasuk masa kecilnya yang terluka dan orang-orang yang pernah melukainya di masa lalu. Tapi hubungan begini baiknya antara guru dan murid atau sejenisnya. Kalau menikah, baiknya sama pasangan yang sudah sama-sama sembuh karena energi kita dan pasangan kita akan menjadi satu. Kalau dia masih nyimpan banyak trauma, banyak luka, banyak energi negatif atau sifat-sifat yang buruk, maka hal itu akan terserap dan menular ke kita. Kalau kita begini, artinya kita tidak mengindahkan aturan agama dalam memilih pasangan, artinya kita dengan sengaja ingin mencelakai diri kita sendiri. Always remember that we have a responsibility of ourselves to God. Dari banyak kasus yang sudah-sudah, orang yang berusaha menolong orang yang belum sembuh hanya berujung pada kehancuran dan penderitaan. Alih-alih menyelamatkan, dia dan anaknya malah menjadi korban selanjutnya.
Sama seperti Peter Singer. Saya suka hewan, tapi gak mau punya pet, selucu dan sebaik apapun attitude-nya. Saya lebih suka hidup bebas dengan membiarkan mereka hidup bebas di habitat mereka masing-masing bersama sesamanya. Lagipula, saya gak tahan dengan kotoran hewan dan lebih suka hidup bersih.
Yang hobi punya pet itu keluarga saya, bukan saya.
Terakhir adik saya pelihara kucing di rumah, pee and pup-nya itu di mana-mana, sementara hal itu kan tergolong najis berat. Belum lagi kebiasaan gigit-gigit, cakar-cakar, nabrak-nabrak atau jatohin barang, bulunya pun rontok dan bertebaran kemana-mana. Rumah jadi beraroma kurang sedap, kotor, dan agak berantakan. Barang-barang pun rusak dan waktu terbuang. Jadi gak bebas juga kan untuk bepergian ke luar untuk waktu yang lama dengan perasaan yang tenang, soalnya kepikiran dia sudah makan atau belum, bikin kekacauan atau tidak dll.
Tapi bukannya melihara kucing itu sunnah, ya?
Maksudnya, melihara yang seperti apa, ya?
Apa iya harus dipelihara di rumah dan diberikan treatment khusus?
Memang iya nabi punya hewan peliharaan berupa kucing di rumahnya?
Hati-hati gaes, hadits juga banyak yang lemah bahkan palsu.
Saya mau kasih makan si kecil tuh kemarin karena gak tega, tapi eh gak punya apa-apa selain katsuobushi alias ikan cakalang serut untuk taburan takoyaki. Gak mungkin dia makan gituan doang.
Tiba-tiba teman saya si guru mandarin merangkap content creator kucing WA, nanya gini, "Di rumahmu banyak kucing liar ga?" Lalu dia nawarin berbagai snack, vitamin dan obat-obatan khusus kucing. Katanya stok dia kebanyakan di rumah.
Lah, bisa pas banget. Lumayan dah, gratis.
Memang benar kata orang-orang. "Everything you need will come to you at the perfect time."