Wednesday, 21 June 2023

Be The Light!


Hari-hari belakangan ini banyak hal rusak dan merusak yang dinormalisasi bahkan dianggap keren. Inilah zaman gila, zaman edan, zaman gendeng. Zaman di mana manusia mau kembali hidup bebas tanpa mengenal batas, hidup sak karepe dewe tanpa memikirkan konsekuensi dan tanggung jawab. 

HAM dan kekuasaan disalahgunakan untuk membenarkan dan memuaskan nafsu pribadi—keinginan mata, keinginan daging dan keangkuhan hidup. 
Tak jarang kita mendengar kasus pelecehan dan pembunuhan oleh keluarga sendiri.
Tak jarang kita mendengar kasus pelecehan dari tokoh agama, tokoh masyarakat, tenaga pendidik bahkan aparat keamanan.
Siapakah yang masih bisa dipercaya dan diandalkan? Masih adakah tempat yang aman bagi kita?

Jangankan orang asing, orang serumah pun bisa menjadi ancaman.
Jangankan lawan jenis, sesama jenis pun bisa menjadi ancaman.
Jangankan orang tak terdidik, tenaga pendidik pun bisa menjadi ancaman.
Jangankan pemaksiat, tokoh masyarakat dan tokoh agama pun bisa menjadi ancaman.

Yang jelas, dunia tidak butuh omong kosong.
Tidak perlu menunggu orang lain.
Didiklah diri kita sendiri untuk menjadi sosok yang mengerti dan menjalankan kewajiban sebagai manusia beriman, berilmu dan beradab yang kuat menahan godaan dan memegang teguh prinsip hidup yang mulia secara konsisten.
Menjadi sosok bertanggung jawab yang dapat diandalkan dan dipercaya, tidak hanya memikirkan kesenangan dan kepuasan pribadi maupun golongan.
Sosok yang bisa memberikan perlindungan dan rasa aman bagi orang-orang di sekitar kita, bukan sosok yang membuat mereka merasa resah, takut, terancam dan berputus asa terhadap kemanusiaan.
Didiklah diri kita untuk tidak menjadi pelaku dan tidak menyalahkan korban, karena siapapun bisa menjadi korban selanjutnya, termasuk diri kita sendiri dan orang-orang terdekat yang kita sayangi.




 “Sister in Danger”. 
by 
SIMPONI (Sindikat Musik Penghuni Bumi)

My old sister is in danger 
My young sister is in danger
 My aunty is in danger
 Don’t teach how to dress* 
(quote by feminist poster)
 Teach your brain about humanity

 My family is in danger
 Your family is in danger
My friends are in danger
 You are all in danger

 Don’t rule how to walk
 Watering your heart with kindness 

Don’t blame the victims 
Maybe you’ll be the next 

Let’s question the law
 Where has justice gone
 Show respect, empathy
 Live in solidarity 
Improve your attitude 
Justice from the mind* 
(quote by Pramoedya Ananta Toer) 

Sunday, 11 June 2023

Alone

 Nice quote:

The capacity to be alone is the capacity to love. It may look paradoxical to you, but it's not. It is an existential truth: only those people who are capable of being alone are capable of love, of sharing, of going into the deepest core of another person--without possessing the other, without becoming dependent on the other, without reducing the other to a thing, and without becoming addicted to the other. They allow the other absolute freedom, because they know that if the other leaves, they will be as happy as they are now. Their happiness cannot be taken by the other, because it is not given by the other, Osho.

This one is also nice:
Two people in love, alone, isolated from the world, that's beautiful, Milan Kundera.
Yeah, maybe one day. 
My bestie said, a promised gift will come; a love that is true and steady, when two hearts are ready.

But the last one is the best:

Home Sweet Home



Sidr now, Sidrat al-Muntaha later. Aamiin.

Boredom

Selagi muda, kita cenderung memiliki ambisi yang menggebu-gebu, rasa penasaran yang tinggi dan ingin mencoba banyak hal baru tanpa mengindahkan aturan maupun hasil dari perbuatan kita. Tak jarang kita malah merasa bangga dengan label pemberontak yang tak mengenal rasa takut. Banyak di antara kita yang tidak memiliki rencana dan tujuan hidup yang jelas karena belum memiliki rasa tanggung jawab, kita cenderung bersikap impulsif dan menghindari hal-hal yang bersifat monoton. Kita ingin mengumpulkan pengalaman sebanyak-banyaknya selagi punya kesempatan, walaupun pengalaman itu kurang berguna bahkan bisa menjadi batu sandungan di masa depan.

Oleh sebab itu, kita enggan untuk setia pada satu hal secara konsisten. Jurusan kuliah gonta-ganti, pasangan gonta-ganti, pekerjaan gonti-ganti. Sampai akhirnya, kita menua dan menyadari bahwa kita tidak akan selamanya muda dan bebas menentukan pilihan. Kita tidak bisa memulai dan mengakhiri semuanya begitu saja, sesuka hati, seenaknya sendiri.
Manusia yang tidak bisa mempertahankan komitmen dan mengatasi rasa bosannya adalah manusia yang tidak dapat dipercaya dan diandalkan.
Saat berada di fase ulat yang serakah, kita cenderung melupakan fakta bahwa saat menginginkan segalanya, justru kita tidak akan mendapatkan apa-apa pada akhirnya.


Ketika modal dan kesempatan kita untuk memilih semakin terbatas, barulah kita merenung, mencoba mengenali diri, mencoba menemukan arti dan tujuan hidup kita yang sebenarnya di dunia ini. Setelah mengetahui siapa kita, dimana, mau apa, kemana dan bagaimana... Kita mulai menyusun misi-misi yang strategis untuk mewujudkan visi. Dengan apa yang tersisa, kita fokus membangun masa depan yang stabil dan penuh makna tanpa lagi membuang-buang kesempatan dan energi. Kita mulai memikirkan untuk memiliki komitmen jangka panjang, fokus pada satu pekerjaan dan pasangan, sesuai nurani dan pertimbangan yang matang tentunya, bukan berdasarkan affect heuristic.


      Di kepala kita mungkin pernah terbersit bahwa pekerjaan dan pernikahan yang stabil itu membosankan. Mampukah kita bertahan hidup dengan satu pekerjaan dan satu pasangan yang itu-itu saja? Jawabannya bisa iya bisa tidak, iya jika kita mampu bersyukur dan mampu mengendalikan diri dengan baik, serta mencintai mereka karenaNya secara aktif dengan banyak cara.
      Walaupun kita kerja sesuai bakat dan minat, pekerjaan itu mendukung kita untuk berkembang, beban pekerjaan tidak terlalu berat, atasan dan rekan kerja suportif, lingkungan kerja nyaman dan positif, ada masanya kita juga merasa bosan dengan rutinitas. Apakah solusinya resign dan mencari pekerjaan yang baru? Solusinya adalah banyak bersyukur dan refreshing, setelah bosannya hilang, kita bisa melanjutkannya lagi.
Refreshing ya gak harus travelling ke luar negeri, kita bisa saja meluangkan waktu untuk lebih banyak berdzikir, coba kuliner baru, mengerjakan hobi atau banyak hal lainnya yang bisa memicu hormon kebahagiaan. Kita sama-sama taulah ya apa cara paling mudah dan murah untuk menghasilkan hormon kebahagiaan tanpa harus kemana-mana bersama pasangan. Kita juga bisa mengubah cara kerja kita supaya lebih menyenangkan, misalnya bekerja bersama teman sambil mendengarkan musik dan menyantap cemilan sehat yang nikmat. There are three solutions to every problem: accept it, change it, or leave it. If you can't accept it, change it. If you can't change it, leave it, unknown.
        Nah, gimana caranya mengobati rasa bosan pada pasangan? Hmm, ini saya gak tau pasti karena belum pernah mengalami dan kemungkinan terjadinya sangat kecil. Bosan sama aktivitasnya mungkin iya, tapi sama orangnya ya enggak. Walaupun kadang plin-plan, abu-abu dan maju-mundur karena merasa belum siap berkomitmen, saya tipe yang pake kacamata kuda kalau sudah menetapkan komitmen. Tipe yang puas dengan satu pasangan. Hidup itu memang perlu banyak variasi sih biar gak bosan, tapi khusus untuk pasangan, saya maunya hanya satu untuk selamanya. Kalau bosan (seandainya terjadi) yang perlu diganti bukan orangnya, tapi seni kita dalam mencintai dan menikmati waktu bersamanya. Ada banyak sekali hal untuk diekspor, dinikmati dan diwujudkan bersama pasangan. Ada banyak sekali kebaikan yang bisa kita lakukan bersama pasangan. Harusnya kita gak masalah kalau pasangan punya dunia pekerjaan atau hobi yang berbeda dengan kita, mau beraktivitas di luar dengan rekan kerjanya juga silahkan aja, selama rekan kerjanya baik dan lingkungan kerjanya bukan yang toksik tanpa aturan dan banyak maksiatnya. Mau have fun sama tongkrongannya juga silahkan, asal tau aturan dan kita juga diberi kebebasan yang sama. Saya ga mau terlalu posesif dan memata-matai pasangan secara berlebihan, dan ga mau juga pasangan yang over protective sehingga bikin risih begitu. I meanget a life. Saling percaya aja dan jangan lupa saling memberi kabar, jangan jadikan pasangan seperti tahanan atau anak kecil yang gak bisa jaga diri. Gak perlu over control dan menjadikan pasangan sebagai satu-satunya sumber kebahagiaan yang harus dikurung dan ditempeli kemana-mana. Orang setia akan tetap setia. Orang gak setia, mau diawasin dan dijagain seketat apapun akan selalu nemuin cara untuk selingkuh. Kalau sudah punya anak juga bisa aja ganti-gantian buat refreshing atau bersosial. Misalkan, weekend ini dia mau refreshing ke Gunung Gede sama teman-teman baiknya yang saya kenal atau kumpul komunitas pecinta sayur, yasudah sana. Next time, saya yang refreshing dan dia jaga anak. Kan enak kalau adil begitu. Kalau mau pergi bareng juga bisa aja selama hal itu memungkinkan.
        Sebagai makhluk sosial, pasangan kita butuh bersosialisasi dengan dunia luar, apalagi kalau orangnya tipe ekstrovert yang suka berdiskusi, belajar dan memberikan kontribusi ke masyarakat. Minusnya, di tongkrongan atau circle pertemanan dan rekan kerja, sering kali orang pada bahas hal yang seharusnya gak perlu dibahas, misalnya masalah hubungan mereka dengan pasangan. Bahkan, masalah ranjang pun dibahas secara detail. Ini gak pantas untuk dinormalisasi sih, di agama pun dilarang. Ke sesama jenis aja dilarang, apalagi ke lawan jenis. Kalau ada masalah sama pasangan, jalan keluarnya adalah dengan mencari solusi bersama pasangan, bukan malah cari solusi di luar. Apalagi curhat-curhat di sosmed. Bikin malu. Real intimacy is a sacred experience. It never exposes its secret trust and belonging to the voyeuristic eye of a neon culture. Real intimacy is of the soul, and the soul is reserved, John O'Donohue
       In shortit's okay kalau pasangan punya dunia dan aktivitas sendiri selama hal itu positif, baik di dalam maupun di luar rumah. Kalau hal itu bisa menghiburnya dan bikin potensi baiknya semakin berkembang, why not? Asal tau diri dan bisa jaga diri aja, gak melupakan kewajibannya pada dirinya sendiri dan keluarga. Pasangan itu gak harus satu profesi, yang penting satu visi dan misinya: ridhaNya dan menempuh jalan yang diridhaiNya. Kalau tujuan dia dunia dan kita akhirat, dia menempuh jalan kemaksiatan sedangkan kita jalan ketaatan ya artinya kita tidak sejalan dan tidak bisa menempuh perjalanan bersamanya. Gak seharusnya juga kita mandang adanya strata dalam profesi, selama profesi itu diridhai olehNya, bisa memberikan banyak manfaat dan dikerjakan untuk Tuhan dengan sungguh-sungguh dan bukan untuk manusia, pekerjaan itu akan membawa keberkahan hidup dan semakin mendekatkan kita padaNya. Gaji 5 juta sebulan aja terasa lebih dari cukup dan bisa digunakan untuk melakukan banyak hal baik. Hidup tenang, nyaman dan dilimpahi banyak rejeki termasuk kesehatan dan berbagai kemudahan. Profesi itu yang penting bukan masalah nominalnya, tapi berkahnya. Bukan biar kaya, biar terkenal, biar dihormati, biar senang... Tapi biar Allah ridha sama kita.


Kalau pasangan mau ngomongin apapun ke tongkrongan juga terserah aja, asal bukan aib atau rahasia rumah tangga dan hal-hal gak mutu. Tapi sebaik-baiknya obrolan sih tentang suatu kebaikan yang bisa membawa lebih banyak kebaikan, ya. Tongkrongan gak bermutu yang bahasanya kasar dan topiknya gak jelas sebaiknya ditinggalkan.

Detachment

      Salah satu media belajar yang asik adalah komik. Kakak saya koleksi berbagai jenis komik, kayanya sih sampe ribuan. Cuma ga ada yang bener-bener mengesankan kaya komik Zen Buddhism yang entah saya dapat dari mana. Bentuk komiknya itu berupa komik panel berisikan cerita anekdot, jadi walaupun muatannya sangat filosofis tapi tetap enak dibaca dan mudah dicerna. 

Beberapa cerita yang masih saya ingat antara lain adalah tentang jendral yang membuang cangkir berharganya dan pemuda yang masih bisa menikmati manisnya buah di ujung jurang tempatnya bergelantung.
        Inti dari cerita itu adalah, ga seharusnya kita hidup dalam ketakutan, tapi kebebasan.
Si jendralnya ini pernah berlaga di medan perang dan ga takut kehilangan nyawa, tapi saat cangkirnya mau jatuh kok dia malah deg-degan setengah mati takut kehilangan cangkirnya. Akhirnya dia sadar, wah ada yang salah nih. Waktu terancam kehilangan nyawa aja dia gak takut, kenapa waktu terancam kehilangan cangkir yang kecil dan gak penting-penting amat malah takut? Daripada merasa ketergantungan dan takut akan kehilangan sehingga dibuat merasa gak bebas, akhirnya dia memilih untuk melempar cangkir itu hingga pecah dengan masa bodo. Sementara di cerita satunya, si pemuda sebenarnya sedang ketakutan di ujung jurang. Tapi daripada gelisah mikirin masa depan dan sisi buruk nasibnya, dia lebih memilih untuk menikmati kekinian dan sisi terang nasibnya. 
     Dalam hidup, seringkali kita dihadapkan dengan persoalan yang sama, seperti yang saya alami. Waktu liburan cukup lama di Bali dari akhir tahun sampe awal tahun sebelum pandemi, saya dikabarin kalau kontrakan saya kerendem banjir yang cukup parah sampe daerah-daerah yang biasanya ga kebanjiran ikut kebanjiran, padahal baru sekitar tiga hari saya pindahan ke sana dan mengisinya dengan barang-barang baru. Itu kontrakan saya siapin untuk mengembangkan bisnis organik saya dan buka tempat kursus. Kata yang ngintip dan melapor ke saya, barang elektronik saya pada terguling dan terapung-apung. Di situ saya cuma bilang yaudah, mau diapain lagi, minta tolong listriknya dimatiin aja. 
       Saya lanjut tuh menikmati penjelajahan keliling Bali, sampe akhirnya balik lagi ke bandara di Bali Selatan. Udah bayar tiket dan agen tur yang private dan berlisensi masa iya malah galau mikirin hal lain? Hotel-hotel pinggir pantai yang luas dan indah, lumba-lumba Lovina yang lucu, makanan khas yang enak-enak, kembang api pergantian tahun yang semarak, teman-teman yang menyenangkan, situs-situs budaya yang unik dengan narasi sejarah yang menarik, fasilitas private yang ramah dlsb, semua itu terlalu berharga untuk dilewatkan begitu saja. Para tour guide kami kebetulan penduduk asli, jadi bisa mengajak kami betualang ke hidden gems yang belum diketahui banyak orang bahkan dari kalangan tour guide sendiri. Mereka berwawasan luas dan kerap berbagi cerita lokal yang seru-seru, termasuk cerita mistis karena Bali masih kental nuansa mistisnya. Banyak cerita yang menarik, diantaranya adalah soal Desa Trunyan di Kintamani, Bangli. Cerita tentang ular suci di Tanah Lot juga seru. Saya gak memegang ular itu seperti para pengunjung lainnya, hanya menyapa dan mengamatinya aja dari jarak dekat. Kebetulan, salah satu kepakaran ayah saya adalah di bidang ular. Sejak SMA beliau sudah neliti dan nerbitin buku-buku tentang ular, beliau juga pelihara 50+ jenis ular di rumah kami. Jadi isi kepala saya tentang ular ya yang seperti diajarkan oleh ayah saya. Di kepala saya ya ular poleng itu sangat berbisa, jadi saya milih untuk ga megang. 
         Beberapa hari setelah mendapatkan berita itu, saya pulang tuh ke kontrakan saya. Isinya bener-bener berantakan gak karuan. Isi toilet luber dan menyebar ke seluruh ruangan. Yaudah, saya kerja keras bersihin semuanya. Adik saya ikut bantu-bantu tapi dia lepas tangan untuk mengerjakan hal-hal yang menjijikan. FYI, bekas banjir itu ga cuma kotor tapi juga tidak ramah hidung dan banyak kumannya. Jadi kasur-kasur, bantal, boneka beruang yang besar, karpet dan semacamnya saya buang walaupun baru bli. Alat-alat elektronik yang baru bli juga saya keringkan dan kasih ke orang lain aja, termasuk flat tv, setrika, rice cooker, kipas angin dlsb karena saya ga membutuhkan itu lagi. Saya beli ini itu pada dasarnya memang bukan untuk diri saya sendiri, tapi atas dasar toleransi dan pengertian aja ke rekan kerja saya yang rencananya akan kerja bersama saya di sana. 






     Dari sana, saya balik lagi ke rumah saya yang dulu, di antara dua tanjakan tinggi. Di sini saya bayar listrik murah karena ga punya banyak alat elektronik. Sehari-hari paling cuma butuh listrik buat kulkas dan lampu hemat energi, kipas, WiFi, charge hp/laptop buat kerja. Saya masak nasi di kompor, baju ngelaundri. Saya beli blender dan oven juga ternyata ga kepake-pake amat, jadi yaudah, saya kasih orang aja supaya barang-barang itu bisa lebih bermanfaat. Daripada jadi rongsok di dunia dan beban di akhirat. Satu harta benda aja kek baju gitu kan bakal ditanya pertanggungjawabannya secara detail, ya? Itu baju apa, darimana, buat apa, dlsb. Apalagi kalau kita punya banyak harta benda? Bakal lama dan pusing juga jawabnya.
Tapi saya gak bilang kalau menjadi orang kaya raya itu salah lho ya. Selama kita meletakan dunia di tangan, bukan di hati.


      Punya banyak uang itu ga salah, justru bagus selama kita bisa amanah membelanjakannya di jalan Allah. Anak yatim piatu, fakir miskin, lembaga pendidikan, tempat ibadah, konservasi alam dll semua itu kan perlu uang.
Saya salut sama orang-orang yang banyak uang tapi gak pelit. Daripada yang memegahkan rumah sendiri dan koleksi barang mewah demi kepuasan pribadi dan gengsi di masyarakat, saya lebih menyukai yang sederhana dalam segala hal tapi dermawan.
Menjadi kaya itu gak salah, selama kita amanah.
Daripada kekayaan dikuasai oleh orang fasik kan jadinya malah ga karu-karuan dunia ini seperti yang dibilang oleh Imam Syafi'i. Tapi kalau ga mampu menghasilkan banyak uang halal ya ga usah maksa, sedekah sesuai kemampuan aja ga harus uang juga. Ga perlu nyongkel mata dan jual ginjal buat bantu orang lain. 

     Setiap kejadian itu ada hikmahnya. Alhamdulillah 'ala kulli hal. Saya malah bersyukur mengalami kejadian banjir ini. Saat bersih-bersih dan pindahan, saya jadi sadar bahwa ternyata banyak harta benda yang gak bener-bener saya butuhkan. 
Tanpa benda-benda itu saya baik-baik aja kok. Malah ga harus bayar listrik lebih, ga harus repot-repot untuk menjaga, membersihkan dan merawat mereka. Jadi daripada dibebani oleh mereka, saya eliminasi mereka dari hidup saya. Bener kata Bhagavad Gita, detachment from material things is the way to inner peace.
Biaya listrik saya sekarang jadi cuma 100k/bulan, sehingga saya punya dana lebih untuk keperluan lainnya. Misalnya, bli buku.




    Ayah saya mengajarkan kami anak-anaknya untuk gak pelit dalam urusan ilmu, misalnya untuk bli buku dan melanjutkan kuliah lagi. Beliau senantiasa mengingatkan kami supaya mencintai ilmu. Menuntut ilmu dengan sungguh-sungguh, sukur-sukur bisa menyebarkan dan mengamalkannya seperti yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Warisan paling berharga adalah ilmu. Para nabi pun hanya mewariskan ilmu supaya kita selamat dunia akhirat.




     Nothing to lose sih dalam hidup tuh, gak ada yang perlu disayang-sayang amat buat dilepasin termasuk harta benda. Kalau dikasih kesempatan hendaknya ga perlu terlalu senang (euforia) hingga lupa diri, kalau masa pinjam atau masa mampirnya sudah habis juga yasudah, ga perlu berlarut-larut dalam kesedihan.
Saat orang yang kita cintai meninggal dunia juga sebaiknya kita ikhlas aja melepaskan mereka. Kematian bukanlah suatu hal yang menyedihkan atau menyeramkan kok, justru kematian adalah gerbang kebebasan menuju yang sejati, Yang Maha Indah.
Orang yang mati kan ga musnah, cuma pindah alam aja. Kelak, kita semua akan dikumpulkan kembali dalam bentuk yang sebaik-baiknya - muda dan selamanya muda. Toh, bisa jadi kehidupan akhirat mereka yang kita tangisi kepergiannya jauh lebih baik daripada kehidupan mereka selama di dunia.
       


      Kematian bukanlah akhir dari segalanya, termasuk kesempatan untuk berbuat baik atau berbakti kepada orangtua. Kita masih bisa melakukan banyak hal buat mereka.
Doain, beramal atas namanya, ziarah kuburnya, jalankan wasiatnya, teladani sifat baiknya, bersihin sangkutannya, putusin dosa jariyahnya, hidup rukun sama keluarga/kerabatnya, jaga nama baiknya atau apapunlah yang bisa membuat mereka lebih tenang dan dilindungi dari siksa di alam sana.
     Suatu saat kita juga akan mati, jadi gak perlulah kita terlalu cinta dunia dan takut mati.
Takut ga takut mati kan bakal mati-mati juga, tinggal siapin aja bekal untuk melanjutkan perjalanan kita.
Toh, dunia ini makin lama makin tua dan bakal hancur. Keindahan dunia juga kan gak ada apa-apanya dibandingkan keindahan akhirat.
Rejeki mereka yang kita tinggal di dunia juga bukan kita yang ngatur, tapi Allah yang terus-menerus mengurus makhlukNya.
Jadi buat apa takut meninggalkan dunia?


     Jangan sampai kita mati dalam penyesalan atau ninggalin beban ke ahli waris seperti hutang berbunga.
Mati bisa kapan aja, ga perlu nunda-nunda atau nunggu-nunggu untuk menjalankan kebaikan dan meninggalkan keburukan. 
     Semuanya akan berlalu dan terputus setelah mati... kecuali cinta sejati dan amalan-amalan tertentu seperti sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat serta doa anak yang soleh/solehah. Kalau kita mau dititipkan anak yang soleh/solehah nantinya bisa aja, salah satu upayanya adalah dengan mengikuti doa Nabi Ibrahim dan Nabi Zakariya. Tapi kita ga bisa menjadikan anak sebagai harapan lho ya. Anak itu di luar kendali kita, dia punya free will dan suka-suka Tuhan mau kasih atau engga, suka-suka Tuhan mau kasih anak macam apa, suka-suka Tuhan juga mau ambil dia kapan aja.

     Yang jelas, mengumpulkan amal soleh yang kekal jauh lebih baik daripada mengumpulkan harta benda yang tidak/kurang berguna di dunia fana yang akan segera kita tinggalkan ini. Anakpun tidak sebaik amal soleh untuk dijadikan harapan untuk bertemu denganNya dalam format yang sebaik-baiknya.

   

   Hendaknya kita membeli barang yang benar-benar kita butuhkan dengan uang yang halal dan tujuan yang baik karena semuanya akan kita pertanggungjawabkan di akhirat kelak. Kalau barang-barang kita masih bisa diperbaiki, masih bisalah dipake. Kecuali kendaraan ya, kendaraan kalau sudah sering mogok tuh bahaya. Nyawa kita jadi taruhannya, mending ganti baru daripada servis-servis terus atau mati tiba-tiba di tengah jalan besar. Saya sudah beberapa kali nyaris kecelakaan karena tiba-tiba gas motor melemah dan mesin mati, mana itu pas tanjakan di jalan besar. Akhirnya, mau ga mau bli motor baru setelah belasan tahun pake motor yang sama.
      Saya sih ga masalah pake barang yang itu-itu aja, yang sebel ngelihatnya malah teman-teman saya. Kebanyakan harta benda yang saya pake saat ini juga hasil pemberian orang-orang. Entah itu teman2, keluarga, kenalan dll. Dari motor yang lama, tas, sepatu, kaus kaki, mukena, sajadah, celana, baju, kebaya, botol minum, piring, gelas, jaket, boneka dan handuk pun dari mereka semua. Adapula dispenser dan kasur dream bag punya temen saya yang ditaro di kamar saya dan ga diambil-ambil. Saya yang disuruh pake, padahal dia yang beli. Memang ajaib rejeki tuh. Banyak hal yang gak kita beli atau usahakan tapi bisa dengan leluasa kita nikmati. Adapun yang sudah kita masukkan ke mulut dan kita telan tapi masih bisa kita muntahkan kembali.