Sunday, 11 June 2023

Detachment

      Salah satu media belajar yang asik adalah komik. Kakak saya koleksi berbagai jenis komik, kayanya sih sampe ribuan. Cuma ga ada yang bener-bener mengesankan kaya komik Zen Buddhism yang entah saya dapat dari mana. Bentuk komiknya itu berupa komik panel berisikan cerita anekdot, jadi walaupun muatannya sangat filosofis tapi tetap enak dibaca dan mudah dicerna. 

Beberapa cerita yang masih saya ingat antara lain adalah tentang jendral yang membuang cangkir berharganya dan pemuda yang masih bisa menikmati manisnya buah di ujung jurang tempatnya bergelantung.
        Inti dari cerita itu adalah, ga seharusnya kita hidup dalam ketakutan, tapi kebebasan.
Si jendralnya ini pernah berlaga di medan perang dan ga takut kehilangan nyawa, tapi saat cangkirnya mau jatuh kok dia malah deg-degan setengah mati takut kehilangan cangkirnya. Akhirnya dia sadar, wah ada yang salah nih. Waktu terancam kehilangan nyawa aja dia gak takut, kenapa waktu terancam kehilangan cangkir yang kecil dan gak penting-penting amat malah takut? Daripada merasa ketergantungan dan takut akan kehilangan sehingga dibuat merasa gak bebas, akhirnya dia memilih untuk melempar cangkir itu hingga pecah dengan masa bodo. Sementara di cerita satunya, si pemuda sebenarnya sedang ketakutan di ujung jurang. Tapi daripada gelisah mikirin masa depan dan sisi buruk nasibnya, dia lebih memilih untuk menikmati kekinian dan sisi terang nasibnya. 
     Dalam hidup, seringkali kita dihadapkan dengan persoalan yang sama, seperti yang saya alami. Waktu liburan cukup lama di Bali dari akhir tahun sampe awal tahun sebelum pandemi, saya dikabarin kalau kontrakan saya kerendem banjir yang cukup parah sampe daerah-daerah yang biasanya ga kebanjiran ikut kebanjiran, padahal baru sekitar tiga hari saya pindahan ke sana dan mengisinya dengan barang-barang baru. Itu kontrakan saya siapin untuk mengembangkan bisnis organik saya dan buka tempat kursus. Kata yang ngintip dan melapor ke saya, barang elektronik saya pada terguling dan terapung-apung. Di situ saya cuma bilang yaudah, mau diapain lagi, minta tolong listriknya dimatiin aja. 
       Saya lanjut tuh menikmati penjelajahan keliling Bali, sampe akhirnya balik lagi ke bandara di Bali Selatan. Udah bayar tiket dan agen tur yang private dan berlisensi masa iya malah galau mikirin hal lain? Hotel-hotel pinggir pantai yang luas dan indah, lumba-lumba Lovina yang lucu, makanan khas yang enak-enak, kembang api pergantian tahun yang semarak, teman-teman yang menyenangkan, situs-situs budaya yang unik dengan narasi sejarah yang menarik, fasilitas private yang ramah dlsb, semua itu terlalu berharga untuk dilewatkan begitu saja. Para tour guide kami kebetulan penduduk asli, jadi bisa mengajak kami betualang ke hidden gems yang belum diketahui banyak orang bahkan dari kalangan tour guide sendiri. Mereka berwawasan luas dan kerap berbagi cerita lokal yang seru-seru, termasuk cerita mistis karena Bali masih kental nuansa mistisnya. Banyak cerita yang menarik, diantaranya adalah soal Desa Trunyan di Kintamani, Bangli. Cerita tentang ular suci di Tanah Lot juga seru. Saya gak memegang ular itu seperti para pengunjung lainnya, hanya menyapa dan mengamatinya aja dari jarak dekat. Kebetulan, salah satu kepakaran ayah saya adalah di bidang ular. Sejak SMA beliau sudah neliti dan nerbitin buku-buku tentang ular, beliau juga pelihara 50+ jenis ular di rumah kami. Jadi isi kepala saya tentang ular ya yang seperti diajarkan oleh ayah saya. Di kepala saya ya ular poleng itu sangat berbisa, jadi saya milih untuk ga megang. 
         Beberapa hari setelah mendapatkan berita itu, saya pulang tuh ke kontrakan saya. Isinya bener-bener berantakan gak karuan. Isi toilet luber dan menyebar ke seluruh ruangan. Yaudah, saya kerja keras bersihin semuanya. Adik saya ikut bantu-bantu tapi dia lepas tangan untuk mengerjakan hal-hal yang menjijikan. FYI, bekas banjir itu ga cuma kotor tapi juga tidak ramah hidung dan banyak kumannya. Jadi kasur-kasur, bantal, boneka beruang yang besar, karpet dan semacamnya saya buang walaupun baru bli. Alat-alat elektronik yang baru bli juga saya keringkan dan kasih ke orang lain aja, termasuk flat tv, setrika, rice cooker, kipas angin dlsb karena saya ga membutuhkan itu lagi. Saya beli ini itu pada dasarnya memang bukan untuk diri saya sendiri, tapi atas dasar toleransi dan pengertian aja ke rekan kerja saya yang rencananya akan kerja bersama saya di sana. 






     Dari sana, saya balik lagi ke rumah saya yang dulu, di antara dua tanjakan tinggi. Di sini saya bayar listrik murah karena ga punya banyak alat elektronik. Sehari-hari paling cuma butuh listrik buat kulkas dan lampu hemat energi, kipas, WiFi, charge hp/laptop buat kerja. Saya masak nasi di kompor, baju ngelaundri. Saya beli blender dan oven juga ternyata ga kepake-pake amat, jadi yaudah, saya kasih orang aja supaya barang-barang itu bisa lebih bermanfaat. Daripada jadi rongsok di dunia dan beban di akhirat. Satu harta benda aja kek baju gitu kan bakal ditanya pertanggungjawabannya secara detail, ya? Itu baju apa, darimana, buat apa, dlsb. Apalagi kalau kita punya banyak harta benda? Bakal lama dan pusing juga jawabnya.
Tapi saya gak bilang kalau menjadi orang kaya raya itu salah lho ya. Selama kita meletakan dunia di tangan, bukan di hati.


      Punya banyak uang itu ga salah, justru bagus selama kita bisa amanah membelanjakannya di jalan Allah. Anak yatim piatu, fakir miskin, lembaga pendidikan, tempat ibadah, konservasi alam dll semua itu kan perlu uang.
Saya salut sama orang-orang yang banyak uang tapi gak pelit. Daripada yang memegahkan rumah sendiri dan koleksi barang mewah demi kepuasan pribadi dan gengsi di masyarakat, saya lebih menyukai yang sederhana dalam segala hal tapi dermawan.
Menjadi kaya itu gak salah, selama kita amanah.
Daripada kekayaan dikuasai oleh orang fasik kan jadinya malah ga karu-karuan dunia ini seperti yang dibilang oleh Imam Syafi'i. Tapi kalau ga mampu menghasilkan banyak uang halal ya ga usah maksa, sedekah sesuai kemampuan aja ga harus uang juga. Ga perlu nyongkel mata dan jual ginjal buat bantu orang lain. 

     Setiap kejadian itu ada hikmahnya. Alhamdulillah 'ala kulli hal. Saya malah bersyukur mengalami kejadian banjir ini. Saat bersih-bersih dan pindahan, saya jadi sadar bahwa ternyata banyak harta benda yang gak bener-bener saya butuhkan. 
Tanpa benda-benda itu saya baik-baik aja kok. Malah ga harus bayar listrik lebih, ga harus repot-repot untuk menjaga, membersihkan dan merawat mereka. Jadi daripada dibebani oleh mereka, saya eliminasi mereka dari hidup saya. Bener kata Bhagavad Gita, detachment from material things is the way to inner peace.
Biaya listrik saya sekarang jadi cuma 100k/bulan, sehingga saya punya dana lebih untuk keperluan lainnya. Misalnya, bli buku.




    Ayah saya mengajarkan kami anak-anaknya untuk gak pelit dalam urusan ilmu, misalnya untuk bli buku dan melanjutkan kuliah lagi. Beliau senantiasa mengingatkan kami supaya mencintai ilmu. Menuntut ilmu dengan sungguh-sungguh, sukur-sukur bisa menyebarkan dan mengamalkannya seperti yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Warisan paling berharga adalah ilmu. Para nabi pun hanya mewariskan ilmu supaya kita selamat dunia akhirat.




     Nothing to lose sih dalam hidup tuh, gak ada yang perlu disayang-sayang amat buat dilepasin termasuk harta benda. Kalau dikasih kesempatan hendaknya ga perlu terlalu senang (euforia) hingga lupa diri, kalau masa pinjam atau masa mampirnya sudah habis juga yasudah, ga perlu berlarut-larut dalam kesedihan.
Saat orang yang kita cintai meninggal dunia juga sebaiknya kita ikhlas aja melepaskan mereka. Kematian bukanlah suatu hal yang menyedihkan atau menyeramkan kok, justru kematian adalah gerbang kebebasan menuju yang sejati, Yang Maha Indah.
Orang yang mati kan ga musnah, cuma pindah alam aja. Kelak, kita semua akan dikumpulkan kembali dalam bentuk yang sebaik-baiknya - muda dan selamanya muda. Toh, bisa jadi kehidupan akhirat mereka yang kita tangisi kepergiannya jauh lebih baik daripada kehidupan mereka selama di dunia.
       


      Kematian bukanlah akhir dari segalanya, termasuk kesempatan untuk berbuat baik atau berbakti kepada orangtua. Kita masih bisa melakukan banyak hal buat mereka.
Doain, beramal atas namanya, ziarah kuburnya, jalankan wasiatnya, teladani sifat baiknya, bersihin sangkutannya, putusin dosa jariyahnya, hidup rukun sama keluarga/kerabatnya, jaga nama baiknya atau apapunlah yang bisa membuat mereka lebih tenang dan dilindungi dari siksa di alam sana.
     Suatu saat kita juga akan mati, jadi gak perlulah kita terlalu cinta dunia dan takut mati.
Takut ga takut mati kan bakal mati-mati juga, tinggal siapin aja bekal untuk melanjutkan perjalanan kita.
Toh, dunia ini makin lama makin tua dan bakal hancur. Keindahan dunia juga kan gak ada apa-apanya dibandingkan keindahan akhirat.
Rejeki mereka yang kita tinggal di dunia juga bukan kita yang ngatur, tapi Allah yang terus-menerus mengurus makhlukNya.
Jadi buat apa takut meninggalkan dunia?


     Jangan sampai kita mati dalam penyesalan atau ninggalin beban ke ahli waris seperti hutang berbunga.
Mati bisa kapan aja, ga perlu nunda-nunda atau nunggu-nunggu untuk menjalankan kebaikan dan meninggalkan keburukan. 
     Semuanya akan berlalu dan terputus setelah mati... kecuali cinta sejati dan amalan-amalan tertentu seperti sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat serta doa anak yang soleh/solehah. Kalau kita mau dititipkan anak yang soleh/solehah nantinya bisa aja, salah satu upayanya adalah dengan mengikuti doa Nabi Ibrahim dan Nabi Zakariya. Tapi kita ga bisa menjadikan anak sebagai harapan lho ya. Anak itu di luar kendali kita, dia punya free will dan suka-suka Tuhan mau kasih atau engga, suka-suka Tuhan mau kasih anak macam apa, suka-suka Tuhan juga mau ambil dia kapan aja.

     Yang jelas, mengumpulkan amal soleh yang kekal jauh lebih baik daripada mengumpulkan harta benda yang tidak/kurang berguna di dunia fana yang akan segera kita tinggalkan ini. Anakpun tidak sebaik amal soleh untuk dijadikan harapan untuk bertemu denganNya dalam format yang sebaik-baiknya.

   

   Hendaknya kita membeli barang yang benar-benar kita butuhkan dengan uang yang halal dan tujuan yang baik karena semuanya akan kita pertanggungjawabkan di akhirat kelak. Kalau barang-barang kita masih bisa diperbaiki, masih bisalah dipake. Kecuali kendaraan ya, kendaraan kalau sudah sering mogok tuh bahaya. Nyawa kita jadi taruhannya, mending ganti baru daripada servis-servis terus atau mati tiba-tiba di tengah jalan besar. Saya sudah beberapa kali nyaris kecelakaan karena tiba-tiba gas motor melemah dan mesin mati, mana itu pas tanjakan di jalan besar. Akhirnya, mau ga mau bli motor baru setelah belasan tahun pake motor yang sama.
      Saya sih ga masalah pake barang yang itu-itu aja, yang sebel ngelihatnya malah teman-teman saya. Kebanyakan harta benda yang saya pake saat ini juga hasil pemberian orang-orang. Entah itu teman2, keluarga, kenalan dll. Dari motor yang lama, tas, sepatu, kaus kaki, mukena, sajadah, celana, baju, kebaya, botol minum, piring, gelas, jaket, boneka dan handuk pun dari mereka semua. Adapula dispenser dan kasur dream bag punya temen saya yang ditaro di kamar saya dan ga diambil-ambil. Saya yang disuruh pake, padahal dia yang beli. Memang ajaib rejeki tuh. Banyak hal yang gak kita beli atau usahakan tapi bisa dengan leluasa kita nikmati. Adapun yang sudah kita masukkan ke mulut dan kita telan tapi masih bisa kita muntahkan kembali.