Selagi muda, kita cenderung memiliki ambisi yang menggebu-gebu, rasa penasaran yang tinggi dan ingin mencoba banyak hal baru tanpa mengindahkan aturan maupun hasil dari perbuatan kita. Tak jarang kita malah merasa bangga dengan label pemberontak yang tak mengenal rasa takut. Banyak di antara kita yang tidak memiliki rencana dan tujuan hidup yang jelas karena belum memiliki rasa tanggung jawab, kita cenderung bersikap impulsif dan menghindari hal-hal yang bersifat monoton. Kita ingin mengumpulkan pengalaman sebanyak-banyaknya selagi punya kesempatan, walaupun pengalaman itu kurang berguna bahkan bisa menjadi batu sandungan di masa depan.
Sunday, 11 June 2023
Boredom
Oleh sebab itu, kita enggan untuk setia pada satu hal secara konsisten. Jurusan kuliah gonta-ganti, pasangan gonta-ganti, pekerjaan gonti-ganti. Sampai akhirnya, kita menua dan menyadari bahwa kita tidak akan selamanya muda dan bebas menentukan pilihan. Kita tidak bisa memulai dan mengakhiri semuanya begitu saja, sesuka hati, seenaknya sendiri.
Manusia yang tidak bisa mempertahankan komitmen dan mengatasi rasa bosannya adalah manusia yang tidak dapat dipercaya dan diandalkan.
Saat berada di fase ulat yang serakah, kita cenderung melupakan fakta bahwa saat menginginkan segalanya, justru kita tidak akan mendapatkan apa-apa pada akhirnya.
Ketika modal dan kesempatan kita untuk memilih semakin terbatas, barulah kita merenung, mencoba mengenali diri, mencoba menemukan arti dan tujuan hidup kita yang sebenarnya di dunia ini. Setelah mengetahui siapa kita, dimana, mau apa, kemana dan bagaimana... Kita mulai menyusun misi-misi yang strategis untuk mewujudkan visi. Dengan apa yang tersisa, kita fokus membangun masa depan yang stabil dan penuh makna tanpa lagi membuang-buang kesempatan dan energi. Kita mulai memikirkan untuk memiliki komitmen jangka panjang, fokus pada satu pekerjaan dan pasangan, sesuai nurani dan pertimbangan yang matang tentunya, bukan berdasarkan affect heuristic.
Di kepala kita mungkin pernah terbersit bahwa pekerjaan dan pernikahan yang stabil itu membosankan. Mampukah kita bertahan hidup dengan satu pekerjaan dan satu pasangan yang itu-itu saja? Jawabannya bisa iya bisa tidak, iya jika kita mampu bersyukur dan mampu mengendalikan diri dengan baik, serta mencintai mereka karenaNya secara aktif dengan banyak cara.
Walaupun kita kerja sesuai bakat dan minat, pekerjaan itu mendukung kita untuk berkembang, beban pekerjaan tidak terlalu berat, atasan dan rekan kerja suportif, lingkungan kerja nyaman dan positif, ada masanya kita juga merasa bosan dengan rutinitas. Apakah solusinya resign dan mencari pekerjaan yang baru? Solusinya adalah banyak bersyukur dan refreshing, setelah bosannya hilang, kita bisa melanjutkannya lagi.
Refreshing ya gak harus travelling ke luar negeri, kita bisa saja meluangkan waktu untuk lebih banyak berdzikir, coba kuliner baru, mengerjakan hobi atau banyak hal lainnya yang bisa memicu hormon kebahagiaan. Kita sama-sama taulah ya apa cara paling mudah dan murah untuk menghasilkan hormon kebahagiaan tanpa harus kemana-mana bersama pasangan. Kita juga bisa mengubah cara kerja kita supaya lebih menyenangkan, misalnya bekerja bersama teman sambil mendengarkan musik dan menyantap cemilan sehat yang nikmat. There are three solutions to every problem: accept it, change it, or leave it. If you can't accept it, change it. If you can't change it, leave it, unknown.
Nah, gimana caranya mengobati rasa bosan pada pasangan? Hmm, ini saya gak tau pasti karena belum pernah mengalami dan kemungkinan terjadinya sangat kecil. Bosan sama aktivitasnya mungkin iya, tapi sama orangnya ya enggak. Walaupun kadang plin-plan, abu-abu dan maju-mundur karena merasa belum siap berkomitmen, saya tipe yang pake kacamata kuda kalau sudah menetapkan komitmen. Tipe yang puas dengan satu pasangan. Hidup itu memang perlu banyak variasi sih biar gak bosan, tapi khusus untuk pasangan, saya maunya hanya satu untuk selamanya. Kalau bosan (seandainya terjadi) yang perlu diganti bukan orangnya, tapi seni kita dalam mencintai dan menikmati waktu bersamanya. Ada banyak sekali hal untuk diekspor, dinikmati dan diwujudkan bersama pasangan. Ada banyak sekali kebaikan yang bisa kita lakukan bersama pasangan. Harusnya kita gak masalah kalau pasangan punya dunia pekerjaan atau hobi yang berbeda dengan kita, mau beraktivitas di luar dengan rekan kerjanya juga silahkan aja, selama rekan kerjanya baik dan lingkungan kerjanya bukan yang toksik tanpa aturan dan banyak maksiatnya. Mau have fun sama tongkrongannya juga silahkan, asal tau aturan dan kita juga diberi kebebasan yang sama. Saya ga mau terlalu posesif dan memata-matai pasangan secara berlebihan, dan ga mau juga pasangan yang over protective sehingga bikin risih begitu. I mean, get a life. Saling percaya aja dan jangan lupa saling memberi kabar, jangan jadikan pasangan seperti tahanan atau anak kecil yang gak bisa jaga diri. Gak perlu over control dan menjadikan pasangan sebagai satu-satunya sumber kebahagiaan yang harus dikurung dan ditempeli kemana-mana. Orang setia akan tetap setia. Orang gak setia, mau diawasin dan dijagain seketat apapun akan selalu nemuin cara untuk selingkuh. Kalau sudah punya anak juga bisa aja ganti-gantian buat refreshing atau bersosial. Misalkan, weekend ini dia mau refreshing ke Gunung Gede sama teman-teman baiknya yang saya kenal atau kumpul komunitas pecinta sayur, yasudah sana. Next time, saya yang refreshing dan dia jaga anak. Kan enak kalau adil begitu. Kalau mau pergi bareng juga bisa aja selama hal itu memungkinkan.
Sebagai makhluk sosial, pasangan kita butuh bersosialisasi dengan dunia luar, apalagi kalau orangnya tipe ekstrovert yang suka berdiskusi, belajar dan memberikan kontribusi ke masyarakat. Minusnya, di tongkrongan atau circle pertemanan dan rekan kerja, sering kali orang pada bahas hal yang seharusnya gak perlu dibahas, misalnya masalah hubungan mereka dengan pasangan. Bahkan, masalah ranjang pun dibahas secara detail. Ini gak pantas untuk dinormalisasi sih, di agama pun dilarang. Ke sesama jenis aja dilarang, apalagi ke lawan jenis. Kalau ada masalah sama pasangan, jalan keluarnya adalah dengan mencari solusi bersama pasangan, bukan malah cari solusi di luar. Apalagi curhat-curhat di sosmed. Bikin malu. Real intimacy is a sacred experience. It never exposes its secret trust and belonging to the voyeuristic eye of a neon culture. Real intimacy is of the soul, and the soul is reserved, John O'Donohue
In short, it's okay kalau pasangan punya dunia dan aktivitas sendiri selama hal itu positif, baik di dalam maupun di luar rumah. Kalau hal itu bisa menghiburnya dan bikin potensi baiknya semakin berkembang, why not? Asal tau diri dan bisa jaga diri aja, gak melupakan kewajibannya pada dirinya sendiri dan keluarga. Pasangan itu gak harus satu profesi, yang penting satu visi dan misinya: ridhaNya dan menempuh jalan yang diridhaiNya. Kalau tujuan dia dunia dan kita akhirat, dia menempuh jalan kemaksiatan sedangkan kita jalan ketaatan ya artinya kita tidak sejalan dan tidak bisa menempuh perjalanan bersamanya. Gak seharusnya juga kita mandang adanya strata dalam profesi, selama profesi itu diridhai olehNya, bisa memberikan banyak manfaat dan dikerjakan untuk Tuhan dengan sungguh-sungguh dan bukan untuk manusia, pekerjaan itu akan membawa keberkahan hidup dan semakin mendekatkan kita padaNya. Gaji 5 juta sebulan aja terasa lebih dari cukup dan bisa digunakan untuk melakukan banyak hal baik. Hidup tenang, nyaman dan dilimpahi banyak rejeki termasuk kesehatan dan berbagai kemudahan. Profesi itu yang penting bukan masalah nominalnya, tapi berkahnya. Bukan biar kaya, biar terkenal, biar dihormati, biar senang... Tapi biar Allah ridha sama kita.
Kalau pasangan mau ngomongin apapun ke tongkrongan juga terserah aja, asal bukan aib atau rahasia rumah tangga dan hal-hal gak mutu. Tapi sebaik-baiknya obrolan sih tentang suatu kebaikan yang bisa membawa lebih banyak kebaikan, ya. Tongkrongan gak bermutu yang bahasanya kasar dan topiknya gak jelas sebaiknya ditinggalkan.